Sekelompok kodok sedang berjalan-jalan melintasi hutan,dan dua di antara kodok tersebut jatuh kedalam sebuah lubang. Semua kodok-kodok yang lain mengelilingi lubang tersebut. Ketika melihat betapa dalamnya lubang tersebut,mereka berkata pada kedua kodok tersebut bahwa mereka lebih baik mati. Kedua kodok tersebut tak menghiraukan komentar itu dan mencuba melompat keluar dari lubang itu dengan segala kemampuan yang ada. Kodok yang lainnya tetap mengatakan agar mereka berhenti melompat dan lebih baik mati.
Akhirnya, salah satu dari kodok yang ada di lubang itu mendengarkan kata-kata kodok yang lain dan menyerah. Dia terjatuh dan mati. Sedang kodok yang satunya tetap meneruskan untuk melompat sedapat mungkin. Sekali lagi kerumunan kodok-kodok tersebut berteriak padanya agar berhenti berusaha dan mati saja. Dia bahkan berusaha lebih kuat dan akhirnya berhasil.
Ketika dia sampai diatas, ada kodok yang bertanya, "Apa kau tidak mendengar teriakan kami?". Lalu kodok itu (dengan membaca gerakan bibir kodok yang lain) menjelaskan bahawa ia pekak. Akhirnya kodok2 tesebut sedar bahwa saat di bawah tadi kodok pekak itu menganggap mereka telah memberikan semangat kepadanya.
Renungan :
Kekuatan hidup dan mati ada di lidah. Kekuatan kata-kata yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" justeru dapat membuat orang tersebut bangkit dan membantu mereka dalam menjalani hari-hari.
Kata-kata buruk yang diberikan pada seseorang yang sedang "jatuh" dapat membunuh mereka. Hati hatilah dengan apa yang akan diucapkan. Suarakan 'kata-kata kehidupan' kepada mereka yang sedang menjauh dari jalur hidupnya. Kadang-kadang memang sulit dimengerti bahwa 'kata-kata kehidupan' itu dapat membuat kita berfikir dan melangkah jauh dari yang kita perkirakan.
Semua orang dapat mengeluarkan 'kata-kata kehidupan' untuk membuat rakan dan teman atau bahkan kepada yang tidak kenal sekalipun untuk membuatnya bangkit darikeputus-asaanya, kejatuhannya, ataupun kemalangannya.
Sungguh indah apabila kita dapat meluangkan waktu kita untuk memberikan semangat kekuatan bagi mereka yang sedang putus asa dan jatuh.
Pemburu Yang Tamak
9:36 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (3)
Pada satu hari, seorang pemburu telah menangkap seekor burung murai. Dengan perasaan sedih burung murai itu merayu kepada si pemburu.
Burung itu bertanya, " Apa yang ingin engkau lakukan pada diriku?"
Lelaki itu menjawab " Akan aku sembelih engkau dan makan engkau sebagai lauk"
"Percayalah, engkau tidak akan begitu berselera memakanku dan aku tidak akan mengenyangkan engkau. Jangan engkau makan aku, tetapi akan aku beritahu engkau tiga nasihat yang lebih baik dari engkau memakanku "
Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Terpengaruh dengan rayuan si murai itu, si pemburu pun bersetuju. Lalu dia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, "Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Di sampaikannya nasihat yang kedua, "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, "Wahai manusia malang! Jika tadi engkau sembelih aku, nescaya engkau akan dapati dalam tubuhku ada dua biji mutiara. Berat setiap mutiara itu adalah dua puluh gram."
Terperanjat sungguh si pemburu itu mendengar kata-kata si burung murai.. Si pemburu berasa dirinya telah tertipu. "Bodohnya aku! Bagaimana aku boleh terlepas peluang yang begitu baik!"
Pemburu itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya. Namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!"
Si burung murai menjawab,"Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Cuba engkau fikirkan, hai orang yang dungu. Aku, dagingku, darahku dan buluku tidak logik seberat dua puluh gram. Oleh itu, bagaimana mungkin akan ada dalam perutku dua biji mutiara yang masing-masing seberat dua puluh gram? Aku tidak cukup besar untuk menyimpan dua butir mutiara besar! Kau tolol! Oleh kerananya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."
Murai menyambung lagi, "Nasihatku yang ketiga adalah, memberi nasihat kepada sedozen bahlul seperti engkau ini adalah seperti menabur benih di tanah usang, tidak akan memberi faedah!"
Kemudian terbanglah si burung murai yang bijak itu meninggalkan si lelaki yang termenung akan ketamakannya itu.
Moral:
Itulah contoh betapa halobanya anak Adam yang jadi kelabu mata dari mengetahui kebenaran.
Jika seseorang menginginkan yang serba banyak atau terlalu panjang angan-angannya atas sesuatu yang lebih, nescaya hilanglah sifat qana' (merasa cukup dengan yang ada). Dan tidak mustahil ia menjadi kotor akibat haloba dan hina akibat rakus sebab kedua sifat itu mengheret kepada pekerti yang jahat untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan mungkar, yang merosakkan maruah (harga diri).
Burung itu bertanya, " Apa yang ingin engkau lakukan pada diriku?"
Lelaki itu menjawab " Akan aku sembelih engkau dan makan engkau sebagai lauk"
"Percayalah, engkau tidak akan begitu berselera memakanku dan aku tidak akan mengenyangkan engkau. Jangan engkau makan aku, tetapi akan aku beritahu engkau tiga nasihat yang lebih baik dari engkau memakanku "
Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.
Terpengaruh dengan rayuan si murai itu, si pemburu pun bersetuju. Lalu dia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, "Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."
Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Di sampaikannya nasihat yang kedua, "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, "Wahai manusia malang! Jika tadi engkau sembelih aku, nescaya engkau akan dapati dalam tubuhku ada dua biji mutiara. Berat setiap mutiara itu adalah dua puluh gram."
Terperanjat sungguh si pemburu itu mendengar kata-kata si burung murai.. Si pemburu berasa dirinya telah tertipu. "Bodohnya aku! Bagaimana aku boleh terlepas peluang yang begitu baik!"
Pemburu itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya. Namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!"
Si burung murai menjawab,"Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Cuba engkau fikirkan, hai orang yang dungu. Aku, dagingku, darahku dan buluku tidak logik seberat dua puluh gram. Oleh itu, bagaimana mungkin akan ada dalam perutku dua biji mutiara yang masing-masing seberat dua puluh gram? Aku tidak cukup besar untuk menyimpan dua butir mutiara besar! Kau tolol! Oleh kerananya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."
Murai menyambung lagi, "Nasihatku yang ketiga adalah, memberi nasihat kepada sedozen bahlul seperti engkau ini adalah seperti menabur benih di tanah usang, tidak akan memberi faedah!"
Kemudian terbanglah si burung murai yang bijak itu meninggalkan si lelaki yang termenung akan ketamakannya itu.
Moral:
Itulah contoh betapa halobanya anak Adam yang jadi kelabu mata dari mengetahui kebenaran.
Jika seseorang menginginkan yang serba banyak atau terlalu panjang angan-angannya atas sesuatu yang lebih, nescaya hilanglah sifat qana' (merasa cukup dengan yang ada). Dan tidak mustahil ia menjadi kotor akibat haloba dan hina akibat rakus sebab kedua sifat itu mengheret kepada pekerti yang jahat untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan mungkar, yang merosakkan maruah (harga diri).
Kisah Tiga Budak Hitam.
9:35 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (12)
Tiga orang budak hitam berjalan-jalan di atas pasir di persisiran sebuah pantai. Tiba-tiba seorang dari mereka tertendang sebiji botol. Beliaupun mengambil botol tersebut. Botol tersebut tertutup rapat dengan penutup gabus. Kesemua mereka kehairanan dan tertanya-tanya apa yang ada di dalam botol tersebut. Lalu salah seorang dari mereka pun membukanya. Terbuka sahaja botol tersebut, keluarlah seekor jin yang amat besar.
Jin tersebut ketawa-terbahak-bahak lalu berkata " Siapakah engkau hai manusia yang telah membebaskan aku? Aku telah terkurung dalam botol ini selama 20 tahun. Dalam masa terkurung aku telah bersumpah akan menyempurnakan 3 hajat sesiapa yang membebaskan aku dari botol ini.. Nah! Sekarang kamu semua pintalah apa-apa, akan aku tunaikan permintaanmu"
Ketiga-tiga budak hitam itu mulanya terkejut tetapi bergembira apabila jin tersebut menawarkan untuk menunaikan permintaan mereka. Jin pun berkata kepada budak yang pertama, " Pintalah!" Budak hitam pertama pun berkata . "Tukarkanlah aku menjadi putih supaya aku kelihatan cantik" Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih. Jin pun berkata kepada budak hitam kedua,"Pintalah!".
Budak hitam kedua pun berkata ." Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan cantik, lebih putih dan cantik daripada budak yang pertama". Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih dan cantik lebih daripada budak yang pertama. Jin pun berkata
kepada budak hitam ketiga, "Pintalah!". Budak hitam ketiga pun berkata ."Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan cantik, lebih putih dan cantik daripada budak yang pertama dan kedua".
Jin pun berkata. " Tidak, permintaan itu tidak dapat aku perkenankan. Pintalah yang lain..." Budak hitam ketiga kehairanan dan terfikir-fikir apa yang mahu dipintanya.
Setelah lama berfikir, budak hitam ketiga pun berkata " Kalau begitu, aku pinta kau hitamkan kembali rakan aku yang dua orang itu" Lalu jin pun tunaikan permintaannya. Kembalilah asal hitam kedua-duanya. Jin pun berlalu dari situ dan ketiga-tiga mereka tercengang-cengang dan tidak memperolehi sesuatu apa pun.
Moral:
Sikap dengki, cemburu dan irihati seringkali bersarang di hati manusia. Manusia tidak suka melihat orang lain lebih dari mereka dan mengharapkan mereka lebih dari orang lain. Mereka juga suka melihat nikmat orang lain hilang. Sikap ini sebenarnya pada akhirnya merugikan manusia sendiri.
Jin tersebut ketawa-terbahak-bahak lalu berkata " Siapakah engkau hai manusia yang telah membebaskan aku? Aku telah terkurung dalam botol ini selama 20 tahun. Dalam masa terkurung aku telah bersumpah akan menyempurnakan 3 hajat sesiapa yang membebaskan aku dari botol ini.. Nah! Sekarang kamu semua pintalah apa-apa, akan aku tunaikan permintaanmu"
Ketiga-tiga budak hitam itu mulanya terkejut tetapi bergembira apabila jin tersebut menawarkan untuk menunaikan permintaan mereka. Jin pun berkata kepada budak yang pertama, " Pintalah!" Budak hitam pertama pun berkata . "Tukarkanlah aku menjadi putih supaya aku kelihatan cantik" Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih. Jin pun berkata kepada budak hitam kedua,"Pintalah!".
Budak hitam kedua pun berkata ." Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan cantik, lebih putih dan cantik daripada budak yang pertama". Jin pun menunaikan permintaannya. Lalu budak itu pun menjadi putih dan cantik lebih daripada budak yang pertama. Jin pun berkata
kepada budak hitam ketiga, "Pintalah!". Budak hitam ketiga pun berkata ."Tukarkanlah aku menjadi putih dan kelihatan cantik, lebih putih dan cantik daripada budak yang pertama dan kedua".
Jin pun berkata. " Tidak, permintaan itu tidak dapat aku perkenankan. Pintalah yang lain..." Budak hitam ketiga kehairanan dan terfikir-fikir apa yang mahu dipintanya.
Setelah lama berfikir, budak hitam ketiga pun berkata " Kalau begitu, aku pinta kau hitamkan kembali rakan aku yang dua orang itu" Lalu jin pun tunaikan permintaannya. Kembalilah asal hitam kedua-duanya. Jin pun berlalu dari situ dan ketiga-tiga mereka tercengang-cengang dan tidak memperolehi sesuatu apa pun.
Moral:
Sikap dengki, cemburu dan irihati seringkali bersarang di hati manusia. Manusia tidak suka melihat orang lain lebih dari mereka dan mengharapkan mereka lebih dari orang lain. Mereka juga suka melihat nikmat orang lain hilang. Sikap ini sebenarnya pada akhirnya merugikan manusia sendiri.
Paku Di Tiang
9:34 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (7)
Beberapa ketika yang silam, ada seorang ikhwah yang mempunyai seorang anak lelaki bernama Mat. Mat membesar menjadi seorang yang lalai menunaikan suruhan agama. Meskipun telah berbuih ajakan dan nasihat,suruhan dan perintah dari ayahnya agar Mat bersembahyang, puasa dan lain-lain amal kebajikan, dia tetap meninggalkannya.Sebaliknya amal kejahatan pula yang menjadi kebiasaannya.
Kaki judi, kaki botol, dan seribu satu macam jenis kaki lagi menjadi kemegahannya. Suatu hari ikhwah tadi memanggil anaknya dan berkata, "Mat, kau ni terlalu sangat lalai dan berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan pacakkan satu paku tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan,maka aku akan benamkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini."
Bapanya berbuat sepertimana yang dia janjikan, dan setiap hari dia akan memukul beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang.
Hari bersilih ganti, beberapa purnama berlalu, dari musim ribut tengkujuh berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun beredar.Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat lepat dek kerana hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang menjijikkan pandangan mata, timbullah rasa malu. Maka dia pun berazamlah untuk memperbaiki dirinya. Mulai detik itu, Mat mula sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknyas sembahyang lagi ditambah dengan sunat-sunatnya.Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Mat tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Mat lakukan dan semakin banyak maksiat yang ditinggal, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.
Maka ayahnyapun memanggil anaknya dan berkata: "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan akan aku cabutkannya keluar sekarang. Tidakkah kamu gembira?" Mat merenung pada tiang tersebut, tapi disebalik melahirkan rasa gembira sebagai yang disangkakan oleh ayahnya, dia mula menangis teresak-esak. "Kenapa anakku?" tanya ayahnya, "aku menyangkakan tentunya kau gembira kerana semua paku-paku tadi telah tiada."Dalam nada yang sayu Mat mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada,tapi aku bersedih parut - parut lubang dari paku itu tetap kekal ditiang, bersama dengan karatnya."
Moral :
Rakan yang dimuliakan, Dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hinggakan menjadi suatu kebiasaan ,kita mungkin boleh mengatasinya, atau secara beransur-ansur menghapuskannya,tapi ingatlah bahawa parut-parutnya akan kekal. Dari itu, bilamana kita menyedaridiri ini melakukan suatu kemungkaran,ataupun sedang diambang pintu habit yang buruk, maka berhentilah serta-merta. Kerana setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan parut pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya. Apatah lagi kalau kita biarkan ianya berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.
Kaki judi, kaki botol, dan seribu satu macam jenis kaki lagi menjadi kemegahannya. Suatu hari ikhwah tadi memanggil anaknya dan berkata, "Mat, kau ni terlalu sangat lalai dan berbuat kemungkaran. Mulai hari ini aku akan pacakkan satu paku tiang di tengah halaman rumah kita. Setiap kali kau berbuat satu kejahatan,maka aku akan benamkan satu paku ke tiang ini. Dan setiap kali kau berbuat satu kebajikan, sebatang paku akan kucabut keluar dari tiang ini."
Bapanya berbuat sepertimana yang dia janjikan, dan setiap hari dia akan memukul beberapa batang paku ke tiang tersebut. Kadang-kadang sampai berpuluh paku dalam satu hari. Jarang-jarang benar dia mencabut keluar paku dari tiang.
Hari bersilih ganti, beberapa purnama berlalu, dari musim ribut tengkujuh berganti kemarau panjang. Tahun demi tahun beredar.Tiang yang berdiri megah di halaman kini telah hampir dipenuhi dengan tusukan paku-paku dari bawah sampai ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu dipenuhi dengan paku-paku. Ada yang berkarat lepat dek kerana hujan dan panas. Setelah melihat keadaan tiang yang bersusukan dengan paku-paku yang menjijikkan pandangan mata, timbullah rasa malu. Maka dia pun berazamlah untuk memperbaiki dirinya. Mulai detik itu, Mat mula sembahyang. Hari itu saja lima butir paku dicabut ayahnya dari tiang. Besoknyas sembahyang lagi ditambah dengan sunat-sunatnya.Lebih banyak lagi paku tercabut. Hari berikutnya Mat tinggalkan sisa-sisa maksiat yang melekat. Maka semakin banyaklah tercabut paku-paku tadi. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Mat lakukan dan semakin banyak maksiat yang ditinggal, hingga akhirnya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal melekat di tiang.
Maka ayahnyapun memanggil anaknya dan berkata: "Lihatlah anakku, ini paku terakhir, dan akan aku cabutkannya keluar sekarang. Tidakkah kamu gembira?" Mat merenung pada tiang tersebut, tapi disebalik melahirkan rasa gembira sebagai yang disangkakan oleh ayahnya, dia mula menangis teresak-esak. "Kenapa anakku?" tanya ayahnya, "aku menyangkakan tentunya kau gembira kerana semua paku-paku tadi telah tiada."Dalam nada yang sayu Mat mengeluh, "Wahai ayahku, sungguh benar katamu, paku-paku itu telah tiada,tapi aku bersedih parut - parut lubang dari paku itu tetap kekal ditiang, bersama dengan karatnya."
Moral :
Rakan yang dimuliakan, Dengan dosa-dosa dan kemungkaran yang seringkali diulangi hinggakan menjadi suatu kebiasaan ,kita mungkin boleh mengatasinya, atau secara beransur-ansur menghapuskannya,tapi ingatlah bahawa parut-parutnya akan kekal. Dari itu, bilamana kita menyedaridiri ini melakukan suatu kemungkaran,ataupun sedang diambang pintu habit yang buruk, maka berhentilah serta-merta. Kerana setiap kali kita bergelimang dalam kemungkaran, maka kita telah membenamkan sebilah paku lagi yang akan meninggalkan parut pada jiwa kita, meskipun paku itu kita cabut kemudiannya. Apatah lagi kalau kita biarkan ianya berkarat dalam diri ini sebelum dicabut. Lebih-lebih lagilah kalau dibiarkan berkarat dan tak dicabut.
Kisah Tukang Gunting
9:32 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (4)
Seorang laki-laki bernama Manan datang ke sebuah salon untuk memotong rambut dan janggutnya. Dia pun memulai sedikit perbualan yang hangat dengan tukang gunting yang melayaninya. Berbagai macam topik dibincangkan, hingga akhirnya Tuhan jadi subjek perbualan.
Tukang Gunting: "Encik, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada seperti yang encik katakan tadi."
Mendengar ungkapan itu, Manan terkejut dan bertanya, "Mengapa anda berkata demikian?"
"Mudah saja,cuba encik menjengok ke luar tingkap itu dan sedarlah bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Tolong jelaskan pada saya, jika Tuhan itu ada, mengapa banyak orang yang sakit? Mengapa banyak anak yang terbiar?. Jika Tuhan itu ada, tentu tidak ada sakit dan penderitaan. Tuhan apa yang mengizinkan semua itu terjadi..." ungkap si tukang gunting dengan nada yang tinggi dan angkuh.
Manan pun berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan oleh tukang gunting. Namun, ia sama sekali tidak memberi respon atau jawapan agar perbincangan tersebut tidak menjadi hangat lagi.
Ketika tukang gunting selesai melakukan pekerjaannya, Manan pun berjalan keluar dari kedai tersebut. Baru beberapa langkah, dia bertembung dengan seorang laki-laki berambut panjang dan janggutnya pun lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke kedai gunting rambut dan itu membuatkannya terlihat tidak kemas.
Manan kembali masuk ke dalam kedai dan kemudian berkata kepada tukang gunting, "Tukang gunting itu sebenarnya tidak adakan sepertimana yang anda kata bahawa Tuhan itu tidak ada!..."
Si tukang gunting pun terkejut dengan perkataan Manan tersebut.
"Bagaimana mungkin mereka tidak ada, buktinya adalah saya. Saya ada di sini dan saya adalah seorang tukang gunting" sanggahnya si tukang gunting.
Manan kembali berkata tegas, "Tidak, mereka tidak ada. kalau mereka ada, tidak mungkin ada orang yang berambut panjang dan berjanggut lebat. Contohnya lelaki di luar itu."
"Ah, anda merepek saja...Tukang gunting selalu ada di mana-mana. Yang terjadi pada lelaki itu adalah bahwa dia tidak mau datang ke kedai saya untuk di gunting rambut dan bercukur." jawabnya tenang sambil tersenyum.
Tegas Manan" "Tepat sekali! Itulah jawapannyanya untuk soalan anda kepada saya tadi. Tuhan itu memang ada. Yang terjadi pada umat manusia itu adalah kerana mereka tidak mau datang mencari dan menemui-Nya. Itulah sebabnya mengapa begitu banyak penderitaan di seluruh dunia ini...."
Mendengar jawapan dari Manan tersebut menyebabkan si tukang gunting diam membisu tidak terkata.
Moral dari kisah diatas:
Dari cerita diatas ini, dapat kita simpulkan bahawa kita sebenarnya lupa akan Allah, tetapi Allah tidak lupa akan kita. Hanya bila kita sakit atau susah barulah kita mengingatiNya sedangkan apabila kita hidup senang dan sihat kita lupa akan kewujudanNya. Renungkanlah seketika. Berapa banyak kalikah kita memujinya pada setiap hari? Dan berapa banyak kalikah kita memuji diri kita dan diri orang lain setiap hari? Dan apabila kita memuji Allah sesudah solat, adakah kita memujiNya dengan bersungguh-sungguh sepertimana kita memuji diri seseorang tokoh
Tukang Gunting: "Encik, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada seperti yang encik katakan tadi."
Mendengar ungkapan itu, Manan terkejut dan bertanya, "Mengapa anda berkata demikian?"
"Mudah saja,cuba encik menjengok ke luar tingkap itu dan sedarlah bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Tolong jelaskan pada saya, jika Tuhan itu ada, mengapa banyak orang yang sakit? Mengapa banyak anak yang terbiar?. Jika Tuhan itu ada, tentu tidak ada sakit dan penderitaan. Tuhan apa yang mengizinkan semua itu terjadi..." ungkap si tukang gunting dengan nada yang tinggi dan angkuh.
Manan pun berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan oleh tukang gunting. Namun, ia sama sekali tidak memberi respon atau jawapan agar perbincangan tersebut tidak menjadi hangat lagi.
Ketika tukang gunting selesai melakukan pekerjaannya, Manan pun berjalan keluar dari kedai tersebut. Baru beberapa langkah, dia bertembung dengan seorang laki-laki berambut panjang dan janggutnya pun lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke kedai gunting rambut dan itu membuatkannya terlihat tidak kemas.
Manan kembali masuk ke dalam kedai dan kemudian berkata kepada tukang gunting, "Tukang gunting itu sebenarnya tidak adakan sepertimana yang anda kata bahawa Tuhan itu tidak ada!..."
Si tukang gunting pun terkejut dengan perkataan Manan tersebut.
"Bagaimana mungkin mereka tidak ada, buktinya adalah saya. Saya ada di sini dan saya adalah seorang tukang gunting" sanggahnya si tukang gunting.
Manan kembali berkata tegas, "Tidak, mereka tidak ada. kalau mereka ada, tidak mungkin ada orang yang berambut panjang dan berjanggut lebat. Contohnya lelaki di luar itu."
"Ah, anda merepek saja...Tukang gunting selalu ada di mana-mana. Yang terjadi pada lelaki itu adalah bahwa dia tidak mau datang ke kedai saya untuk di gunting rambut dan bercukur." jawabnya tenang sambil tersenyum.
Tegas Manan" "Tepat sekali! Itulah jawapannyanya untuk soalan anda kepada saya tadi. Tuhan itu memang ada. Yang terjadi pada umat manusia itu adalah kerana mereka tidak mau datang mencari dan menemui-Nya. Itulah sebabnya mengapa begitu banyak penderitaan di seluruh dunia ini...."
Mendengar jawapan dari Manan tersebut menyebabkan si tukang gunting diam membisu tidak terkata.
Moral dari kisah diatas:
Dari cerita diatas ini, dapat kita simpulkan bahawa kita sebenarnya lupa akan Allah, tetapi Allah tidak lupa akan kita. Hanya bila kita sakit atau susah barulah kita mengingatiNya sedangkan apabila kita hidup senang dan sihat kita lupa akan kewujudanNya. Renungkanlah seketika. Berapa banyak kalikah kita memujinya pada setiap hari? Dan berapa banyak kalikah kita memuji diri kita dan diri orang lain setiap hari? Dan apabila kita memuji Allah sesudah solat, adakah kita memujiNya dengan bersungguh-sungguh sepertimana kita memuji diri seseorang tokoh
Mimpi Seorang Gadis
9:31 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (12)
Seorang gadis datang menemui Rasulullah dengan tangan kanannya disorokkan ke dalam poket bajunya. Dari raut wajahnya, anak gadis ini sedang menanggung kesakitan yang amat sangat.
Lalu Rasulullah menegurnya. "Wahai anakku, kenapa wajahmu menampakkan kamu sedang kesakitan dan apa yang kamu sorokkan di tanganmu?"
Lalu gadis malanginipun menceritakan hal yang berlaku padanya :- "Ya,Rasulullah, sesungguhnya aku adalah anak yatim piatu. Malam tadi aku telah bermimpi dan mimpiku itu telah membuatkan aku menanggung kesakitan ini." Balas gadis tadi.
"Jika tidak jadi keberatan, ceritakanlah mimpimu itu wahai anakku." Rasulullah mula tertarik dengan penjelasan gadis tersebut.
"Aku bermimpi berjumpa ibuku di dalam neraka. Keadaannya amat menyedihkan. Ibuku meminta diberikan air kerana dia amat dahaga kerana kepanasan api neraka itu hingga peluh tidak sempat keluar kerana kekeringan sekelip mata." Gadis itu berhenti seketika menahan sebak. "Kemudian kulihat ditangan kirinya ada seketul keju dan ditangan kanannya ada sehelai tuala kecil.Beliau mengibas-ngibaskan kedua-dua benda tersebut untuk menghalang api dari membakar tubuhnya. Lantas aku bertanya ibuku, kenapa dia menerima balasan sebegitu rupa sedangkan ketika hidupnya ibuku adalah seorang hamba yang patuh dengan ajaran islam dan isteri yang taat kepada suaminya? Lalu ibuku memberitahu bahawa ketika hidupnya dia amat bakhil. Hanya dua benda itu sahaja iaitu seketul keju dan sehelai tuala kecil pernah disedekahkan kepada fakir. Yang lainnya hanya untuk bermuka-muka dan menunjukkan kelebihan hartanya sahaja.
Lalu aku terus mencari ayahku. Rupanya beliau berada di syurga dan sedang menjamu penghuni syurga dengan makanan yang lazat dan minuman dari telaga nabi. Ayahku memang amat terkenal kerana sikapnya yang dermawan dan kuat beramal. Lalu aku bertanya kepada ayahku. "Wahai ayah, ibu sedang kehausan dan menaggung azab di neraka.Tidakkah ayah ingin membantu ibu sedangkan di dunia kulihat ibu amat mentaatimu dan menurut perintah agama. Lalu dijawab oleh ayahnya. Sesungguhnya beliau dan semua penghuni syurga telah dilarang oleh Allah dari memberi walau setitik air kepada isterinya kerana itu adalah pembalasan untuk kebakhilan yang dilakukan ketika didunia. Oleh kerana kasihan melihat azab yang diterima oleh ibuku, aku lantas menceduk sedikit air mengguna tapak tangan kananku lalu dibawa ke neraka. Belum sempat air tersebut mencecah bibir ibuku, api neraka telah menyambar tanganku sehingga melecur. Seketika itu juga aku tersedar dan mendapati tapak tanganku melecur teruk. Itulah sebabnya aku datang berjumpa engkau ya Rasulullah."
Panjang lebar gadis itu bercerita sambil airmatanya tidak henti-henti mengalir dipipi. Rasulullah kemudian meletakkan tongkatnya ke tapak tangan gadis tersebut lalu menadah tangan, berdoa memohon petunjuk dari Allah. Jika sekiranya mimpi gadis tersebut adalah benar maka disembuhkanlah agar menjadi iktibar kepada beliau dan semua umat islam. Lalu berkat kebesaranNya tangan gadis tersebut sembuh. Rasulullah lantas berkata, "Wahai anakku, pulanglah. Banyakkan bersedekah dan berzikir dan pahalanya kau berikan kepada ibumu.Mudah-mudahan segala dosanya terampun.
Lalu Rasulullah menegurnya. "Wahai anakku, kenapa wajahmu menampakkan kamu sedang kesakitan dan apa yang kamu sorokkan di tanganmu?"
Lalu gadis malanginipun menceritakan hal yang berlaku padanya :- "Ya,Rasulullah, sesungguhnya aku adalah anak yatim piatu. Malam tadi aku telah bermimpi dan mimpiku itu telah membuatkan aku menanggung kesakitan ini." Balas gadis tadi.
"Jika tidak jadi keberatan, ceritakanlah mimpimu itu wahai anakku." Rasulullah mula tertarik dengan penjelasan gadis tersebut.
"Aku bermimpi berjumpa ibuku di dalam neraka. Keadaannya amat menyedihkan. Ibuku meminta diberikan air kerana dia amat dahaga kerana kepanasan api neraka itu hingga peluh tidak sempat keluar kerana kekeringan sekelip mata." Gadis itu berhenti seketika menahan sebak. "Kemudian kulihat ditangan kirinya ada seketul keju dan ditangan kanannya ada sehelai tuala kecil.Beliau mengibas-ngibaskan kedua-dua benda tersebut untuk menghalang api dari membakar tubuhnya. Lantas aku bertanya ibuku, kenapa dia menerima balasan sebegitu rupa sedangkan ketika hidupnya ibuku adalah seorang hamba yang patuh dengan ajaran islam dan isteri yang taat kepada suaminya? Lalu ibuku memberitahu bahawa ketika hidupnya dia amat bakhil. Hanya dua benda itu sahaja iaitu seketul keju dan sehelai tuala kecil pernah disedekahkan kepada fakir. Yang lainnya hanya untuk bermuka-muka dan menunjukkan kelebihan hartanya sahaja.
Lalu aku terus mencari ayahku. Rupanya beliau berada di syurga dan sedang menjamu penghuni syurga dengan makanan yang lazat dan minuman dari telaga nabi. Ayahku memang amat terkenal kerana sikapnya yang dermawan dan kuat beramal. Lalu aku bertanya kepada ayahku. "Wahai ayah, ibu sedang kehausan dan menaggung azab di neraka.Tidakkah ayah ingin membantu ibu sedangkan di dunia kulihat ibu amat mentaatimu dan menurut perintah agama. Lalu dijawab oleh ayahnya. Sesungguhnya beliau dan semua penghuni syurga telah dilarang oleh Allah dari memberi walau setitik air kepada isterinya kerana itu adalah pembalasan untuk kebakhilan yang dilakukan ketika didunia. Oleh kerana kasihan melihat azab yang diterima oleh ibuku, aku lantas menceduk sedikit air mengguna tapak tangan kananku lalu dibawa ke neraka. Belum sempat air tersebut mencecah bibir ibuku, api neraka telah menyambar tanganku sehingga melecur. Seketika itu juga aku tersedar dan mendapati tapak tanganku melecur teruk. Itulah sebabnya aku datang berjumpa engkau ya Rasulullah."
Panjang lebar gadis itu bercerita sambil airmatanya tidak henti-henti mengalir dipipi. Rasulullah kemudian meletakkan tongkatnya ke tapak tangan gadis tersebut lalu menadah tangan, berdoa memohon petunjuk dari Allah. Jika sekiranya mimpi gadis tersebut adalah benar maka disembuhkanlah agar menjadi iktibar kepada beliau dan semua umat islam. Lalu berkat kebesaranNya tangan gadis tersebut sembuh. Rasulullah lantas berkata, "Wahai anakku, pulanglah. Banyakkan bersedekah dan berzikir dan pahalanya kau berikan kepada ibumu.Mudah-mudahan segala dosanya terampun.
Tertipu Berulang Kali
9:30 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (6)
Di suatu hari, seorang lelaki sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halaman. Dia berjalan dengan menarik seekor keldai di belakangnya. Seorang pencuri melihat hal ini. Dia mengendap-endap dan memutuskan tali pengikatnya dan mengambil keldai tersebut. Setelah beberapa lama, sang empunya keldai pun menyedari bahawa keldainya telah hilang. Dia berlari ke sana sini mencari keldainya dengan panik.
Sampailah dia pada sebuah perigi. Di tepi perigi, dia nampak seorang lelaki tetapi dia tidak tahu bahawa lelaki itulah yang telah mencuri keldai miliknya. Dia bertanya kepada lelaki itu adakah dia melihat seekor keldai di sekitar tempat itu.
Pencuri itu tidak menjawab, malah dia menangis dan bersimpuh di tepi perigi.
"Mengapa kau menangis?" tanya pemilik keldai kehairanan.
"Dompetku jatuh ke dalam perigi ketika aku menimba air. Jika kau dapat membantuku mengambilnya, aku akan berikan kau seperlima dari wang yang ada dalam dompet itu. Kau akan mendapatkan seperlima dari seratus dinar emas di tanganmu!"
Pemilik keldai pun berfikir, "Wah! Wang itu cukup untuk membeli lebih dari sepuluh keldai! Bila satu pintu tertutup, sepuluh pintu lain akan terbuka."
Dia segera membuka pakaiannya dan turun ke dasar perigi. Sudah pastinya di dalam perigi itu tidak terdapat apa-apa. Dan si pencuri pun melarikan pakaian orang itu.
Moral:
Apabila satu kerugian saja membuatmu amat gelisah, maka kerugian-kerugian lain akan datang kepadamu dengan mudah. .
Sampailah dia pada sebuah perigi. Di tepi perigi, dia nampak seorang lelaki tetapi dia tidak tahu bahawa lelaki itulah yang telah mencuri keldai miliknya. Dia bertanya kepada lelaki itu adakah dia melihat seekor keldai di sekitar tempat itu.
Pencuri itu tidak menjawab, malah dia menangis dan bersimpuh di tepi perigi.
"Mengapa kau menangis?" tanya pemilik keldai kehairanan.
"Dompetku jatuh ke dalam perigi ketika aku menimba air. Jika kau dapat membantuku mengambilnya, aku akan berikan kau seperlima dari wang yang ada dalam dompet itu. Kau akan mendapatkan seperlima dari seratus dinar emas di tanganmu!"
Pemilik keldai pun berfikir, "Wah! Wang itu cukup untuk membeli lebih dari sepuluh keldai! Bila satu pintu tertutup, sepuluh pintu lain akan terbuka."
Dia segera membuka pakaiannya dan turun ke dasar perigi. Sudah pastinya di dalam perigi itu tidak terdapat apa-apa. Dan si pencuri pun melarikan pakaian orang itu.
Moral:
Apabila satu kerugian saja membuatmu amat gelisah, maka kerugian-kerugian lain akan datang kepadamu dengan mudah. .
Mak Cik Penjual Kerepek
9:30 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (2)
SABTU lalu saya singgah untuk berurusan di sebuah bank di Taman Melawati Kuala Lumpur. Seperti biasa kawasan tersebut sesak dengan kereta disebabkan ada pasar tani yang memang mendapat sambutan ramai dari penduduk sekitar kawasan itu, malah dari tempat lain juga.
Setelah meletak kereta di parkir lebih kurang 500 meter dari bank tersebut, saya keluar untuk memenuhi urusan saya itu.
Di kaki lima bank itu saya melihat orang ramai berkerumun. Tertanya-tanya juga hati saya apa yang berlaku, mungkinkah ada orang pengsan? Atau berlaku rompakan? Mungkin juga kemalangan.
Menghampiri kawasan itu segala pertanyaan terjawab. Rupanya orang ramai yang berhimpun di situ sedang menunggu giliran membeli produk makanan ringan yang dijual oleh seorang warga emas wanita.
Dalam pada mengatur langkah ke arah bank, mata saya melihat keadaan itu dengan lebih jelas. Terlihat oleh pandangan saya Mak cik warga emas itu sedang sibuk melayani pelanggannya.
Saya perhatikan kebanyakan yang singgah, membeli sekurang-kurangnya dua paket kerepek yang dijual dengan harga RM2.00 hingga RM10.00.
Setiap paket kerepek itu dibungkus kemas. Makcik itu yang agak saya berumur lebih kurang 80 tahun duduk bersila di atas simen berlapikkan sehelai kain. Di hadapannya ada beg-beg plastik dipenuhi pelbagai jenis kerepek.
Saya melihat kesayuan pada wajah makcik itu. Sekalipun saya tidak nampak dia tersenyum. Tapi tidak siapa peduli. Bagi mereka bukan senyum mak cik itu yang mendorong mereka berhenti membeli tetapi wajah sayunya.
Mungkin semula jadi wajahnya begitu atau kerana keadaan. Tidak siapa tahu apa sebenarnya! Pun begitu, naluri saya dapat membaca apa yang tersirat di dalam hati makcik itu.
Setiap orang yang berhenti bertanya produk jualannya pasti dilayan dengan baik. Semua yang bertanya saya lihat membeli sekurang-kurangnya satu paket kerepek. Namun apabila makcik itu mengembalikan wang baki, kesemuanya menolak. Saya dapat mendengar salah seorang pelanggan berkata, “Makcik simpanlah baki wang itu, buat belanja.”
Sambil memandang orang yang memberinya, makcik itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu memasukkan duit itu ke dalam sebuah bekas yang ada di atas ribanya.
Sebaik selesai urusan dan melintasi makcik itu saya turut berhenti di hadapannya. Selepas memberi salam dan bertanya khabar, saya bertanya berapa harga satu paket kerepek yang dijualnya.
“Ada RM2.00 ringgit, ada RM5.00 ada juga RM10.00 bergantung kepada besarnya. Nak ke...’’ tanya makcik itu. Suaranya agak gementar.
Saya melihat kedua-dua tangannya berkerut, urat-urat jelas timbul gambaran usianya yang sudah lanjut. Namun dia punya kecekalan. Tubuhnya pada saya masih sihat. Namun kudrat mungkin terbatas.
Memandang wajahnya saya mengangguk. Kemudian memilih dua paket kerepek pisang dan ubi. Seperti orang lain, saya juga tidak mengambil wang baki kerana sesiapa pun yang terpandang akan wajah makcik itu pastinya tidak akan tergamak mengambil semula wang bakinya.
Serentak dengan itu hati saya berperang dengan pelbagai perasaan yang bertukar ganti. Lebih-lebih lagi apabila memikirkan perihal makcik tersebut. Seorang warga emas yang kecil tubuhnya duduk bersila di atas simen menjual makanan ringan sedangkan sepatutnya dia berehat di rumah.
Dalam hati tertanya-tanya lagi, ke mana pergi anak cucu mahupun saudara maranya? Menyedari tidak ada yang menunggu giliran untuk membeli di belakang, saya meluangkan masa berbual singkat dengan makcik itu. Katanya, dia tidak tinggal di kawasan itu tetapi datang dari kawasan lain yang tidak mampu disebutnya. Mungkin tidak ingat atau dia enggan berterus terang.
Saya bertanya tidakkah dia merasa penat menunggu di situ sepanjang hari. Jawapannya, “Makcik sudah biasa... kalau tidak jual ini, macam mana nak cari duit untuk hidup?”
Jawapannya menjadikan saya termenung seketika. Satu jawapan yang bernas. Sayangnya ia lahir dari bibir seorang warga emas yang sepatutnya sedang bersenang lenang di rumah melayani cucu dan cicit.
Naluri saya terus tertanya-tanya mengapa makcik itu dibiarkan melakukan kerja tersebut seorang diri? Adakah kerana dia sendiri rela hati untuk berjual atau sebab terpaksa. Lama mencari jawapan tapi tidak ada yang pasti. Hakikatnya saya yakin makcik itu terpaksa bekerja untuk menyara hidupnya. Itu saja kerja yang mampu dilakukannya bagi menjana kelangsungan hidupnya.
Biarpun urusan di bank telah selesai dan anak-anak juga semakin resah kerana saya masih enggan berganjak dari tempat itu. Berat rasa hati hendak meninggalkan makcik itu.
Entah kenapa saya sering terperangkap dalam keadaan begitu. Hati mudah tersentuh terutama apabila melihat warga emas, wanita dan kanak-kanak yang menjalani kehidupan yang meletihkan. Namun saya bersyukur kerana masyarakat kita amat penyayang dan prihatin. Contohnya seperti yang saya ceritakan, tidak henti-henti orang berhenti membeli.
Saya tidak tahu berapa lama makcik itu sudah berniaga di situ tetapi saya yakin tempat itu bukanlah lokasi baru makcik itu mencari rezeki. Mungkin juga dia telah pergi ke merata tempat yang difikirnya sesuai untuk dia mencari rezeki.
Kawasan sekitar bank itu mungkin antara tempat dia singgah untuk menjual hasil produk jualannya kerana ramai orang lalu lalang.
Apa pun, siapa pun makcik itu, dari mana asalnya, sebagai manusia saya benar-benar tersentuh hati dengan kegigihannya. Saya pasti makcik itu punya semangat dan kekuatan yang hebat untuk melawan kepayahan hidupnya.
Kegigihan makcik itu patut menjadi contoh kepada warga emas lain yang hanya mengharapkan simpati dan belas ihsan untuk terus hidup.
Pada masa yang sama, saya mendoakan kesejahteraan makcik itu dan berharap dalam usia yang semakin meningkat dia tidak akan terus dibelenggu kepayahan untuk mencari rezeki dengan kudrat yang semakin lemah dan kesihatan yang entah sampai bila mampu bertahan.
Saya juga mengharapkan agar satu hari nanti, dalam masa yang terdekat ini, akan ada darah daging makcik itu yang menjenguk dan bertanya khabarnya dan seterusnya membawa dia ke dalam kehidupan yang lebih ceria dan sempurna bagi menghabiskan sisa-sisa hidupnya.
Menutup kata, pesanan saya untuk renungan kita bersama. Hidup ini adalah satu perjuangan yang tidak pernah ada penamatnya. Ia akan berhenti dengan sendiri apabila sampai saat kita di jemput Ilahi. Wallahualam.
Setelah meletak kereta di parkir lebih kurang 500 meter dari bank tersebut, saya keluar untuk memenuhi urusan saya itu.
Di kaki lima bank itu saya melihat orang ramai berkerumun. Tertanya-tanya juga hati saya apa yang berlaku, mungkinkah ada orang pengsan? Atau berlaku rompakan? Mungkin juga kemalangan.
Menghampiri kawasan itu segala pertanyaan terjawab. Rupanya orang ramai yang berhimpun di situ sedang menunggu giliran membeli produk makanan ringan yang dijual oleh seorang warga emas wanita.
Dalam pada mengatur langkah ke arah bank, mata saya melihat keadaan itu dengan lebih jelas. Terlihat oleh pandangan saya Mak cik warga emas itu sedang sibuk melayani pelanggannya.
Saya perhatikan kebanyakan yang singgah, membeli sekurang-kurangnya dua paket kerepek yang dijual dengan harga RM2.00 hingga RM10.00.
Setiap paket kerepek itu dibungkus kemas. Makcik itu yang agak saya berumur lebih kurang 80 tahun duduk bersila di atas simen berlapikkan sehelai kain. Di hadapannya ada beg-beg plastik dipenuhi pelbagai jenis kerepek.
Saya melihat kesayuan pada wajah makcik itu. Sekalipun saya tidak nampak dia tersenyum. Tapi tidak siapa peduli. Bagi mereka bukan senyum mak cik itu yang mendorong mereka berhenti membeli tetapi wajah sayunya.
Mungkin semula jadi wajahnya begitu atau kerana keadaan. Tidak siapa tahu apa sebenarnya! Pun begitu, naluri saya dapat membaca apa yang tersirat di dalam hati makcik itu.
Setiap orang yang berhenti bertanya produk jualannya pasti dilayan dengan baik. Semua yang bertanya saya lihat membeli sekurang-kurangnya satu paket kerepek. Namun apabila makcik itu mengembalikan wang baki, kesemuanya menolak. Saya dapat mendengar salah seorang pelanggan berkata, “Makcik simpanlah baki wang itu, buat belanja.”
Sambil memandang orang yang memberinya, makcik itu mengangguk-anggukkan kepalanya lalu memasukkan duit itu ke dalam sebuah bekas yang ada di atas ribanya.
Sebaik selesai urusan dan melintasi makcik itu saya turut berhenti di hadapannya. Selepas memberi salam dan bertanya khabar, saya bertanya berapa harga satu paket kerepek yang dijualnya.
“Ada RM2.00 ringgit, ada RM5.00 ada juga RM10.00 bergantung kepada besarnya. Nak ke...’’ tanya makcik itu. Suaranya agak gementar.
Saya melihat kedua-dua tangannya berkerut, urat-urat jelas timbul gambaran usianya yang sudah lanjut. Namun dia punya kecekalan. Tubuhnya pada saya masih sihat. Namun kudrat mungkin terbatas.
Memandang wajahnya saya mengangguk. Kemudian memilih dua paket kerepek pisang dan ubi. Seperti orang lain, saya juga tidak mengambil wang baki kerana sesiapa pun yang terpandang akan wajah makcik itu pastinya tidak akan tergamak mengambil semula wang bakinya.
Serentak dengan itu hati saya berperang dengan pelbagai perasaan yang bertukar ganti. Lebih-lebih lagi apabila memikirkan perihal makcik tersebut. Seorang warga emas yang kecil tubuhnya duduk bersila di atas simen menjual makanan ringan sedangkan sepatutnya dia berehat di rumah.
Dalam hati tertanya-tanya lagi, ke mana pergi anak cucu mahupun saudara maranya? Menyedari tidak ada yang menunggu giliran untuk membeli di belakang, saya meluangkan masa berbual singkat dengan makcik itu. Katanya, dia tidak tinggal di kawasan itu tetapi datang dari kawasan lain yang tidak mampu disebutnya. Mungkin tidak ingat atau dia enggan berterus terang.
Saya bertanya tidakkah dia merasa penat menunggu di situ sepanjang hari. Jawapannya, “Makcik sudah biasa... kalau tidak jual ini, macam mana nak cari duit untuk hidup?”
Jawapannya menjadikan saya termenung seketika. Satu jawapan yang bernas. Sayangnya ia lahir dari bibir seorang warga emas yang sepatutnya sedang bersenang lenang di rumah melayani cucu dan cicit.
Naluri saya terus tertanya-tanya mengapa makcik itu dibiarkan melakukan kerja tersebut seorang diri? Adakah kerana dia sendiri rela hati untuk berjual atau sebab terpaksa. Lama mencari jawapan tapi tidak ada yang pasti. Hakikatnya saya yakin makcik itu terpaksa bekerja untuk menyara hidupnya. Itu saja kerja yang mampu dilakukannya bagi menjana kelangsungan hidupnya.
Biarpun urusan di bank telah selesai dan anak-anak juga semakin resah kerana saya masih enggan berganjak dari tempat itu. Berat rasa hati hendak meninggalkan makcik itu.
Entah kenapa saya sering terperangkap dalam keadaan begitu. Hati mudah tersentuh terutama apabila melihat warga emas, wanita dan kanak-kanak yang menjalani kehidupan yang meletihkan. Namun saya bersyukur kerana masyarakat kita amat penyayang dan prihatin. Contohnya seperti yang saya ceritakan, tidak henti-henti orang berhenti membeli.
Saya tidak tahu berapa lama makcik itu sudah berniaga di situ tetapi saya yakin tempat itu bukanlah lokasi baru makcik itu mencari rezeki. Mungkin juga dia telah pergi ke merata tempat yang difikirnya sesuai untuk dia mencari rezeki.
Kawasan sekitar bank itu mungkin antara tempat dia singgah untuk menjual hasil produk jualannya kerana ramai orang lalu lalang.
Apa pun, siapa pun makcik itu, dari mana asalnya, sebagai manusia saya benar-benar tersentuh hati dengan kegigihannya. Saya pasti makcik itu punya semangat dan kekuatan yang hebat untuk melawan kepayahan hidupnya.
Kegigihan makcik itu patut menjadi contoh kepada warga emas lain yang hanya mengharapkan simpati dan belas ihsan untuk terus hidup.
Pada masa yang sama, saya mendoakan kesejahteraan makcik itu dan berharap dalam usia yang semakin meningkat dia tidak akan terus dibelenggu kepayahan untuk mencari rezeki dengan kudrat yang semakin lemah dan kesihatan yang entah sampai bila mampu bertahan.
Saya juga mengharapkan agar satu hari nanti, dalam masa yang terdekat ini, akan ada darah daging makcik itu yang menjenguk dan bertanya khabarnya dan seterusnya membawa dia ke dalam kehidupan yang lebih ceria dan sempurna bagi menghabiskan sisa-sisa hidupnya.
Menutup kata, pesanan saya untuk renungan kita bersama. Hidup ini adalah satu perjuangan yang tidak pernah ada penamatnya. Ia akan berhenti dengan sendiri apabila sampai saat kita di jemput Ilahi. Wallahualam.
Satu Perangkap Tikus
9:28 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (3)
Seekor tikus mengintip disebalik celah di tembok untuk mengamati sang petani dan isterinya membuka sebuah bungkusan. Ada makanan fikirnya?
Dia terkejut sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus.Lari kembali ke ladang pertanian itu, tikus itu menjerit memberi peringatan,
"Awas, ada perangkap tikus di dalam rumah, awaslah, ada perangkap tikus di dalam rumah!"
Sang ayam dengan tenang berkokok dan sambil tetap menggaruk
tanah, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya maafkan aku, Pak Tikus, aku
tahu ini memang masalah besar bagi kamu, tapi buat aku secara peribadi tak
ada masalahnya. Jadi jangan buat aku peninglah."
Tikus berbalik dan pergi menuju sang kambing, katanya, "Ada
perangkap tikus didalam rumah, sebuah perangkap tikus dirumah!" "Wah, aku menyesal dengar khabar ini,"
si kambing menghibur dengan penuh simpati, "tetapi tak ada sesuatupun yang bisa
kulakukan kecuali berdoa. Yakinlah, kamu sentiasa ada dalam doa doaku!"
Tikus kemudian berbelok menuju si lembu. " Oh? sebuah perangkap
tikus, jadi saya dalam bahaya besar ya?" kata lembu itu sambil ketawa.
Jadi tikus itu kembalilah kerumah,kepala tertunduk dan merasa
begitu patah hati, kesal dan sedih, terpaksa menghadapi perangkap tikus itu sendirian.
Malam itu juga terdengar suara bergema diseluruh rumah, seperti bunyi
perangkap tikus yang berjaya menangkap mangsanya. Isteri petani berlari
pergi melihat apa yang terperangkap. Didalam kegelapan itu dia tak bisa
melihat bahawa yang terjebak itu adalah seekor ular berbisa. Ular itu sempat
mematuk tangan isteri petani itu. Petani itu bergegas membawanya ke hospital. Dia kembali ke rumah dengan demam. Sudah menjadi
kebiasaan setiap orang akan memberikan pesakit demam panas minum sup ayam segar, jadi petani
itu pun mengambil goloknya dan pergilah dia ke belakang mencari bahan bahan untuk supnya itu.
Penyakit isterinya berlanjutan sehingga teman teman dan jiran tetangganya datang menjenguk, dari
jam ke jam selalu ada saja para tamu. Petani itupun menyembelih kambingnya untuk memberi makan
para pengunjung itu.
Isteri petani itu tak kunjung sembuh. Dia mati, jadi makin banyak lagi orang orang yang datang untuk pengkebumiannya sehingga petani itu
terpaksalah menyembelih lembunya agar dapat menjamu makan orang orang itu.
Moral kisah ini:
Apabila kamu dengar ada seseorang yang menghadapi masalah dan kamu fikir itu tiada kaitan dengan anda, ingatlah bahawa apabila ada 'perangkap tikus' didalam rumah, seluruh 'ladang pertanian' ikut menanggung risikonya .
Sikap mementingkan diri sendiri lebih banyak keburukan dari baiknya
Dia terkejut sekali, ternyata bungkusan itu berisi perangkap tikus.Lari kembali ke ladang pertanian itu, tikus itu menjerit memberi peringatan,
"Awas, ada perangkap tikus di dalam rumah, awaslah, ada perangkap tikus di dalam rumah!"
Sang ayam dengan tenang berkokok dan sambil tetap menggaruk
tanah, mengangkat kepalanya dan berkata, "Ya maafkan aku, Pak Tikus, aku
tahu ini memang masalah besar bagi kamu, tapi buat aku secara peribadi tak
ada masalahnya. Jadi jangan buat aku peninglah."
Tikus berbalik dan pergi menuju sang kambing, katanya, "Ada
perangkap tikus didalam rumah, sebuah perangkap tikus dirumah!" "Wah, aku menyesal dengar khabar ini,"
si kambing menghibur dengan penuh simpati, "tetapi tak ada sesuatupun yang bisa
kulakukan kecuali berdoa. Yakinlah, kamu sentiasa ada dalam doa doaku!"
Tikus kemudian berbelok menuju si lembu. " Oh? sebuah perangkap
tikus, jadi saya dalam bahaya besar ya?" kata lembu itu sambil ketawa.
Jadi tikus itu kembalilah kerumah,kepala tertunduk dan merasa
begitu patah hati, kesal dan sedih, terpaksa menghadapi perangkap tikus itu sendirian.
Malam itu juga terdengar suara bergema diseluruh rumah, seperti bunyi
perangkap tikus yang berjaya menangkap mangsanya. Isteri petani berlari
pergi melihat apa yang terperangkap. Didalam kegelapan itu dia tak bisa
melihat bahawa yang terjebak itu adalah seekor ular berbisa. Ular itu sempat
mematuk tangan isteri petani itu. Petani itu bergegas membawanya ke hospital. Dia kembali ke rumah dengan demam. Sudah menjadi
kebiasaan setiap orang akan memberikan pesakit demam panas minum sup ayam segar, jadi petani
itu pun mengambil goloknya dan pergilah dia ke belakang mencari bahan bahan untuk supnya itu.
Penyakit isterinya berlanjutan sehingga teman teman dan jiran tetangganya datang menjenguk, dari
jam ke jam selalu ada saja para tamu. Petani itupun menyembelih kambingnya untuk memberi makan
para pengunjung itu.
Isteri petani itu tak kunjung sembuh. Dia mati, jadi makin banyak lagi orang orang yang datang untuk pengkebumiannya sehingga petani itu
terpaksalah menyembelih lembunya agar dapat menjamu makan orang orang itu.
Moral kisah ini:
Apabila kamu dengar ada seseorang yang menghadapi masalah dan kamu fikir itu tiada kaitan dengan anda, ingatlah bahawa apabila ada 'perangkap tikus' didalam rumah, seluruh 'ladang pertanian' ikut menanggung risikonya .
Sikap mementingkan diri sendiri lebih banyak keburukan dari baiknya
Cinta Dan Perkahwinan
9:26 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (3)
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, "Apa itu cinta? Bagaimana saya boleh menemukannya?
Gurunya menjawab,"Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, ertinya kamu telah menemukan cinta" Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan masa berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak ku ambil ranting tersebut.
Ketika ku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusedari bahawasanya ranting-ranting yang ku temukan kemudian tak sebaik dan secantik ranting yang tadi, jadi tak ku ambil sebatang pun pada akhirnya"
Gurunya kemudian menjawab "Jadi itulah yang dikatakan cinta"
Pada hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya boleh menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, kerana ertinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-sederhana saja, tidak terlalu lurus batangnya. Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"
Plato pun menjawab, "Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan ku rasa tidaklah buruk sangat, jadi ku putuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya" Gurunya pun kemudian menjawab, "Dan itulah yang dikatakan perkahwinan"
Moral :
Oleh itu carilah cinta dan dapatkan perkahwinan. Kerana kita tidak mungkin memperoleh sebenar seperti yang kita impikan. Hidup ini hanya kesempatan yang sedikit dan sementara. Tidak mungkin akan terpenuhi segala yang kita mahu. Terimalah seadanya apa yang Allah dah tentukan untuk kita..
Gurunya menjawab,"Ada ladang gandum yang luas di depan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, ertinya kamu telah menemukan cinta" Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan masa berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak ku ambil ranting tersebut.
Ketika ku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusedari bahawasanya ranting-ranting yang ku temukan kemudian tak sebaik dan secantik ranting yang tadi, jadi tak ku ambil sebatang pun pada akhirnya"
Gurunya kemudian menjawab "Jadi itulah yang dikatakan cinta"
Pada hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, "Apa itu perkawinan? Bagaimana saya boleh menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, kerana ertinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-sederhana saja, tidak terlalu lurus batangnya. Gurunya bertanya, "Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?"
Plato pun menjawab, "Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan ku rasa tidaklah buruk sangat, jadi ku putuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya" Gurunya pun kemudian menjawab, "Dan itulah yang dikatakan perkahwinan"
Moral :
Oleh itu carilah cinta dan dapatkan perkahwinan. Kerana kita tidak mungkin memperoleh sebenar seperti yang kita impikan. Hidup ini hanya kesempatan yang sedikit dan sementara. Tidak mungkin akan terpenuhi segala yang kita mahu. Terimalah seadanya apa yang Allah dah tentukan untuk kita..
Sang Kancil Dengan Buaya
9:26 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (4)
Seekor buaya yang sedang berjemur ditebing sungai dengan tiba-tiba telah terhimpit ditimpa batang pokok yang tumbang. Ia pun merintih dan meraung meminta pertolongan. Raungannya itu didengari oleh seekor kerbau yang sedang makan rumput ditebing sungai itu.
Sang kerbau pun datang membantu sibuaya dengan penuh ikhlas dan penuh rasa kasihan. Setelah batang pokok itu diangkat keatas oleh sang kerbau, sang buaya pun terlepas dari himpitan dan dengan tiba-tiba ia terus menggigit kaki sang kerbau. Sang kerbau pun meraung meminta pertolongan dan merayu kepada sang buaya supaya beliau bersikap adil supaya tidak membahamnya kerena beliau telah pun membuat jasa.
Pada masa yang sama ternampaklah mereka akan sebuah tudung saji buruk yang hanyut dibawa arus. Lalu mereka bertanyalah kepada tudung saji itu tentang samaada patutkah sikap sang buaya bersikap sedemikian.
Tudung saji menjawab sang buaya memang patut berbuat sedemikian kerena berdasarkan pengalamannya dia telah dibuang kesungai oleh tuannya apabila keadaannya telah buruk dan telah digantikan dengan tudung saji yang baru. Semasa beliau masih baru dan cantik mereka meletakkan beliau ditempat-tempat yang mulia. Dia digunakan beberapa lama sehingga ia menjadi buruk dan rosak kemudiannya dibuang begitu sahaja. Bakti beliau untuk melindunigi makanan selama ini tidak lagi menjadi perhitungan oleh tuannya untuk mereka disimpan atau dimuliakan lagi.
Oleh itu dia berpendapat adalah adil bagi sang buaya memakan sang kerbau kerena jasa atau budi lama yang lalu sememangnya selalu tidak perlu diambil kira. Tudung saji itu pun terus hanyut. Seketika kelihatan pula tikar buruk yang hanyut terapung dipermukaan air sungai itu. Lalu mereka pun bertanya seperti apa yang ditanyakan kepada tudung saji tadi.
Tikar buruk itu menjawab dengan jawaban yang serupa seperti yang dijawab oleh tudung saji tadi dan dia pun terus hanyut meninggalkan mereka. Sang buaya pun berpuas hati dan mula menarik kerbau itu kedalam air. Tetapi entah macam mana sang kancil telah melewati ditempat kejadian itu dan sang kerbau pun meraung meminta pertolongan.
Sebagai memenuhi permintaan sang kerbau untuk mendapatkan keadilan, sang kancil pun memohon pada sang buaya untuk melakunkan kembali kejadian itu dari mula. Sang buaya bersetuju dan batang pokok tadi pun diletakkan kembali diatas belakangnya.
Sang kancil pun meminta sang kerbau berlalu dari situ dan sang buaya pun ditinggalkan mereka dalam keadaannya kesakitan dihimpit oleh batang pokok seperti keadaan mula-mula tadi. Sambil berjalan sebelum berpisah, sang kancil berpesan pada sang kerbau supaya dilain masa berhati-hati jika hendak memberi pertolongan
Sang kerbau pun datang membantu sibuaya dengan penuh ikhlas dan penuh rasa kasihan. Setelah batang pokok itu diangkat keatas oleh sang kerbau, sang buaya pun terlepas dari himpitan dan dengan tiba-tiba ia terus menggigit kaki sang kerbau. Sang kerbau pun meraung meminta pertolongan dan merayu kepada sang buaya supaya beliau bersikap adil supaya tidak membahamnya kerena beliau telah pun membuat jasa.
Pada masa yang sama ternampaklah mereka akan sebuah tudung saji buruk yang hanyut dibawa arus. Lalu mereka bertanyalah kepada tudung saji itu tentang samaada patutkah sikap sang buaya bersikap sedemikian.
Tudung saji menjawab sang buaya memang patut berbuat sedemikian kerena berdasarkan pengalamannya dia telah dibuang kesungai oleh tuannya apabila keadaannya telah buruk dan telah digantikan dengan tudung saji yang baru. Semasa beliau masih baru dan cantik mereka meletakkan beliau ditempat-tempat yang mulia. Dia digunakan beberapa lama sehingga ia menjadi buruk dan rosak kemudiannya dibuang begitu sahaja. Bakti beliau untuk melindunigi makanan selama ini tidak lagi menjadi perhitungan oleh tuannya untuk mereka disimpan atau dimuliakan lagi.
Oleh itu dia berpendapat adalah adil bagi sang buaya memakan sang kerbau kerena jasa atau budi lama yang lalu sememangnya selalu tidak perlu diambil kira. Tudung saji itu pun terus hanyut. Seketika kelihatan pula tikar buruk yang hanyut terapung dipermukaan air sungai itu. Lalu mereka pun bertanya seperti apa yang ditanyakan kepada tudung saji tadi.
Tikar buruk itu menjawab dengan jawaban yang serupa seperti yang dijawab oleh tudung saji tadi dan dia pun terus hanyut meninggalkan mereka. Sang buaya pun berpuas hati dan mula menarik kerbau itu kedalam air. Tetapi entah macam mana sang kancil telah melewati ditempat kejadian itu dan sang kerbau pun meraung meminta pertolongan.
Sebagai memenuhi permintaan sang kerbau untuk mendapatkan keadilan, sang kancil pun memohon pada sang buaya untuk melakunkan kembali kejadian itu dari mula. Sang buaya bersetuju dan batang pokok tadi pun diletakkan kembali diatas belakangnya.
Sang kancil pun meminta sang kerbau berlalu dari situ dan sang buaya pun ditinggalkan mereka dalam keadaannya kesakitan dihimpit oleh batang pokok seperti keadaan mula-mula tadi. Sambil berjalan sebelum berpisah, sang kancil berpesan pada sang kerbau supaya dilain masa berhati-hati jika hendak memberi pertolongan
Ibarat Semut, Labah-Labah dan Lebah
9:24 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (0)
Tiga binatang kecil ini menjadi nama dari tiga surah di dalam Al-Qur'an.An Naml (semut), Al 'Ankabuut (labah-labah), dan An Nahl (lebah).
Semut, menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. Ketamakannya sedemikian besar sehingga ia berusaha - dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya.
Lain lagi huraian Al-Qur'an tentang labah-labah. Sarangnya adalah tempat yang paling rapuh (Al 'Ankabuut; 29:41), ia bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabiskan oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.
Akan halnya lebah, memiliki naluri yang dalam bahasa Al-Qur'an - "atas perintah Tuhan ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal"
(An Nahl;16:68). Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar efisen dalam penggunaan ruang. Yang dimakannya adalah serbuk sari bunga.
Lebah tidak menumpuk makanan. Lebah menghasilkan lilin dan madu yg sangat manfaat bagi kita. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali jika diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi ubat.
Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya 'semut'. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya 'semut' adalah budaya 'aji mumpung'.
Pemborosan, foya-foya adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga jenis 'labah-labah' yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berfikir: "Siapa yang dapat dijadikan mangsa"
Nabi Shalalahu 'Alaihi Wasallam mengibaratkan seorang mukmin sebagai 'lebah'. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan :"Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya"
Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah!
Semut, menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. Ketamakannya sedemikian besar sehingga ia berusaha - dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya.
Lain lagi huraian Al-Qur'an tentang labah-labah. Sarangnya adalah tempat yang paling rapuh (Al 'Ankabuut; 29:41), ia bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabiskan oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.
Akan halnya lebah, memiliki naluri yang dalam bahasa Al-Qur'an - "atas perintah Tuhan ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal"
(An Nahl;16:68). Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar efisen dalam penggunaan ruang. Yang dimakannya adalah serbuk sari bunga.
Lebah tidak menumpuk makanan. Lebah menghasilkan lilin dan madu yg sangat manfaat bagi kita. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali jika diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi ubat.
Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya 'semut'. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya 'semut' adalah budaya 'aji mumpung'.
Pemborosan, foya-foya adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga jenis 'labah-labah' yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berfikir: "Siapa yang dapat dijadikan mangsa"
Nabi Shalalahu 'Alaihi Wasallam mengibaratkan seorang mukmin sebagai 'lebah'. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan :"Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya"
Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah!
Nilai RM 5
9:01 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (0)
Jalan di situ berlopak-lopak besar,terhinjut-hinjut Toyota Corolla Altis 1.8 ini dilambung graviti. Ery duduk di sebelah sudah berapa kali bangun tidur, dengkurnya makin menjadi. Siaran radio sekejap berbunyi, bercampur-campur. Sekejap radio perak, sekejap kedah mengikut lambungan kereta lagaknya.
Aku terpaksa memperlahankan kereta melalui satu perkampungan nelayan yang kotor, beberapa budak-budak kecil dengan muka yang comot dan hingus kering di muka berlari-lari. Seorang daripadanya tidak berseluar langsung, geli.
Ada orang tua berbasikal mengangkat tangan memberi salam. Aku menaikkan cermin kereta, melepaskan rengusan garang.
Ery sudah bangun, mengesat-ngesat mata, menggeliat kasar. Mengeluarkan bunyi seperti kerbau. Perempuan sial, sopannya cuma di depan jantan, tersipu-sipu dan bersimpuh malu. Hipokrit ini cuma tahu bersolek dan berdandan bila mahu keluar, di rumah dia seperti perempuan baru beranak, t-shirt goboh dengan kain pelekat senteng dan rambut usai seperti orang gila, mengeluarkan bau hapak dan masam.
Ada sebuah jeti buruk disitu. Beberapa nelayan baru sampai dari laut disambut peraih-peraih buncit. Memunggah ikan. Ery sudah separuh menggelepar di luar meliar mata mencari Shafik, tunangnya. Aku duduk sahaja di dalam kereta. Aku bencikan pantai hanyir seperti ini.
Beberapa gadis bertudunglabuh lalu dengan menaiki basikal dan memberi senyuman.
Aku menghempas pintu serta merta. Memang benar. Perempuan kolot seperti mereka itu, patut dijerukkan saja di tempat busuk ini.Tolol!
Kemudian, datang seorang tua menghampiri tingkap belakang. Aku sedikit marah, mengetap bibir.
"Nak apa?!"
Dia terketar terkejut, sedikit berundur.
"Assalammualaikum nak, pakcik ambil upah cuci kereta.."
Dia bercakap dengan pandangan yang tumpah ke kakinya, tertib dan seperti takut. Di tangannya ada satu baldi buruk air sabun dengan tuala koyak di bahu. Baju kemeja kusam koyak di poket, cuma dibutang dua menampakkan dadanya yang leper ditolak tulang selangka. Seluar hijau pudar senteng.
Tidak berkasut dengan kuku hitam dan kaki yang reput. Menjijikkan!
"Basuh sajalah, tapi, awas!! Kalau calar kereta aku, tahulah macamana aku nak ajar kau!!"
Berkata sambil meliarkan mata pada Ery yang tengah tersengih-sengih meramas-ramas tangan dengan tunangnya itu. Duduk pula bersimpuh, membelai-belai rambut. Boleh pula kaki yang asyik duduk terkangkang di rumah itu ditutup rapat.
Orang tua itu tertunduk-tunduk mengucap terima kasih. Ah, miskin seperti ini tunduk-tunduk meminta simpati, tiada maruah. Terus saja dia menggosok satu demi satu tayar kereta. Memberus sambil terbatuk-batuk, meludahkan kahak hijau. Pengotor, sial! Aku mengalihkan mata ke pantai.
Peraih berdekah ketawa menepuk-nepuk elakang nelayan kurus itu. Menyerahkan beberapa ringgit. Nelayan itu tersenyum pahit. Menyelitkannya di celah kopiah. Itulah, siapa suruh kecil-kecil tidak mahu belajar pandai-pandai, masuk universiti dan kerja besar. Tidaklah hidup susah seperti itu. Bodoh!!
"Sudah nak!!" Pakcik itu datang setelah 20 minit. Aku sudah malas hendak memandangnya, dan kuhulurkan sahaja RM 5. Aku rasa itu sudah cukup lumayan untuk fakir seperti dia. Cepat-cepatlah dia pergi.
Tapi, sebaliknya dia memegang lama duit itu. Tunduk dan menangis tersedu-sedu. Menambahkan kerut dan mengelap mata dengan hujung kemejanya.
"Kenapa ni? Gila?!"
"Nak, seumur hidup pakcik hidup susah ini, pakcik kerja memetik kelapa, mencuci tandas di restoran, kemudian mencuci kereta, belum pernah pakcik terima upah sebanyak ini. Paling banyak pun hanya seringgit."
Dia bersungguh-sungguh melihat ke dalam mata aku.
Timbul pula sedikit simpati, sedikit sayu. Rasa yang tidak pernah bertakung dalam hati keras aku selama 25 tahun ini. Dia melipat kecil wang itu diikat simpul di dalam sapu tangan biru muda. Pergi dengan terhinggut menangis dengan baldi buruk ke arah sekumpulan nelayan.
Aku memandangnya dengan pandangan kosong. Ini warna kemiskinan, aku tidak pernah lihat. Aku membesar dalam hutan batu, di kota lumpur. Keras diselaput wang kemewahan, kemudian keluar dengan segulung ijazah. Bekerja seperti orang gila untuk duit. Biarlah, kalau aku mahu bantu, ramai lagi di luar sana. Lupakan saja..
Ery memanggil aku dari sebuah kedai makan di situ. Hampir 10 minit aku melayan meluat-melihat Ery yang tersipu-sipu menggagau mee dengan sudu dan garfu. Kemudian, kelibat orang tua itu melintasi kami, menjinjing dua beg besar hitam berisi barang. Hairan, takkanlah dengan wang RM 5 dia boleh membeli barang sebanyak itu. Mustahil. Atau dia memang ada duit tapi, berlagak seperti fakir. Mungkin..
Dengan rasa ragu, aku menghampirinya. Dia memberi senyum lembut dan aku dengan rasa curiga bertanya terus.
" Eh, pakcik. Tadi saya bagi lima ringgit, takkan dapat beli barang sebanyak ini?".
Bunyinya seperti meninggi. Pakcik itu seperti terkejut.
Dia diam dan tunduk seketika. Pahit menelan air liur. Meletakkan dua beg plastik di atas tanah, membukanya satu satu, perlahan-lahan dan terketar.
Aku terkedu. Terkejut dan malu. Pakcik itu mengeluarkan sapu tangan tadi dan membuka simpulannya. Wang aku tadi, masih terlipat kemas.
"Nak, pakcik tahu. Kami ini orang susah, nak. Hidup seperti najis, dibuang dan ditolak-tolak. Kalian pekup hidung melihat kami. Ambillah ini semula. Pakcik juga punya maruah. Kadang-kadang maruah kami lebih tinggi dari kamu orang kaya yang hidup berpura-pura, menipu orang. Harga diri kami masih kuat. Bila anak menyoal pakcik seperti tadi, anak telah memijak harga diri pakcik. Anak seperti menghukum pakcik sebagai orang tua sial yang berpura-pura susah. Ambillah semula, nak."
Pakcik itu meletakkannya di atas tangan aku, dan aku menolak, berkali-kali. Aku sudah menangis, meminta maaf, berkali-kali. Tidak mahu menyentuh langsung wang itu, hingga jatuh di hujung kaki.
"Lihat, itulah tempat duit. Di tapak kaki. Duit itu perlu, tapi jangan sampai ia lebih tinggi dari harga diri. Jangan sampai duit menjadikan kita angkuh dan bongkak. Pakcik ke sana tadi, tempat nelayan memunggah ikan. Pakcik kutip ikan-ikan kembung pecah perut ini yang sudah dibuang ke tepi. Dengan bangkai busuk ini pakcik sambung hidup anak-anak pakcik, jangan sampai kelaparan, jangan mati."
Mendatar sahaja suara orang tua itu berkisar-kisar dengan pukulan ombak. Dia terbatuk-batuk berjalan, meninggalkan aku dengan wang lima ringgit di hujung kaki, dua plastik berisi ikan busuk yang sudah mula dihurung lalat.
Aku terduduk menangis semahu-mahunya. Aku mempunyai wang yang boleh membeli segala kemewahan dunia. cuma aku belum mampu membeli sesuatu yang ada dalam diri orang tua itu.
Moral :
" jika tidak dapat apa yang kita suka, belajarlah utk menyukai apa yang kita dapat " renungkan..
Aku terpaksa memperlahankan kereta melalui satu perkampungan nelayan yang kotor, beberapa budak-budak kecil dengan muka yang comot dan hingus kering di muka berlari-lari. Seorang daripadanya tidak berseluar langsung, geli.
Ada orang tua berbasikal mengangkat tangan memberi salam. Aku menaikkan cermin kereta, melepaskan rengusan garang.
Ery sudah bangun, mengesat-ngesat mata, menggeliat kasar. Mengeluarkan bunyi seperti kerbau. Perempuan sial, sopannya cuma di depan jantan, tersipu-sipu dan bersimpuh malu. Hipokrit ini cuma tahu bersolek dan berdandan bila mahu keluar, di rumah dia seperti perempuan baru beranak, t-shirt goboh dengan kain pelekat senteng dan rambut usai seperti orang gila, mengeluarkan bau hapak dan masam.
Ada sebuah jeti buruk disitu. Beberapa nelayan baru sampai dari laut disambut peraih-peraih buncit. Memunggah ikan. Ery sudah separuh menggelepar di luar meliar mata mencari Shafik, tunangnya. Aku duduk sahaja di dalam kereta. Aku bencikan pantai hanyir seperti ini.
Beberapa gadis bertudunglabuh lalu dengan menaiki basikal dan memberi senyuman.
Aku menghempas pintu serta merta. Memang benar. Perempuan kolot seperti mereka itu, patut dijerukkan saja di tempat busuk ini.Tolol!
Kemudian, datang seorang tua menghampiri tingkap belakang. Aku sedikit marah, mengetap bibir.
"Nak apa?!"
Dia terketar terkejut, sedikit berundur.
"Assalammualaikum nak, pakcik ambil upah cuci kereta.."
Dia bercakap dengan pandangan yang tumpah ke kakinya, tertib dan seperti takut. Di tangannya ada satu baldi buruk air sabun dengan tuala koyak di bahu. Baju kemeja kusam koyak di poket, cuma dibutang dua menampakkan dadanya yang leper ditolak tulang selangka. Seluar hijau pudar senteng.
Tidak berkasut dengan kuku hitam dan kaki yang reput. Menjijikkan!
"Basuh sajalah, tapi, awas!! Kalau calar kereta aku, tahulah macamana aku nak ajar kau!!"
Berkata sambil meliarkan mata pada Ery yang tengah tersengih-sengih meramas-ramas tangan dengan tunangnya itu. Duduk pula bersimpuh, membelai-belai rambut. Boleh pula kaki yang asyik duduk terkangkang di rumah itu ditutup rapat.
Orang tua itu tertunduk-tunduk mengucap terima kasih. Ah, miskin seperti ini tunduk-tunduk meminta simpati, tiada maruah. Terus saja dia menggosok satu demi satu tayar kereta. Memberus sambil terbatuk-batuk, meludahkan kahak hijau. Pengotor, sial! Aku mengalihkan mata ke pantai.
Peraih berdekah ketawa menepuk-nepuk elakang nelayan kurus itu. Menyerahkan beberapa ringgit. Nelayan itu tersenyum pahit. Menyelitkannya di celah kopiah. Itulah, siapa suruh kecil-kecil tidak mahu belajar pandai-pandai, masuk universiti dan kerja besar. Tidaklah hidup susah seperti itu. Bodoh!!
"Sudah nak!!" Pakcik itu datang setelah 20 minit. Aku sudah malas hendak memandangnya, dan kuhulurkan sahaja RM 5. Aku rasa itu sudah cukup lumayan untuk fakir seperti dia. Cepat-cepatlah dia pergi.
Tapi, sebaliknya dia memegang lama duit itu. Tunduk dan menangis tersedu-sedu. Menambahkan kerut dan mengelap mata dengan hujung kemejanya.
"Kenapa ni? Gila?!"
"Nak, seumur hidup pakcik hidup susah ini, pakcik kerja memetik kelapa, mencuci tandas di restoran, kemudian mencuci kereta, belum pernah pakcik terima upah sebanyak ini. Paling banyak pun hanya seringgit."
Dia bersungguh-sungguh melihat ke dalam mata aku.
Timbul pula sedikit simpati, sedikit sayu. Rasa yang tidak pernah bertakung dalam hati keras aku selama 25 tahun ini. Dia melipat kecil wang itu diikat simpul di dalam sapu tangan biru muda. Pergi dengan terhinggut menangis dengan baldi buruk ke arah sekumpulan nelayan.
Aku memandangnya dengan pandangan kosong. Ini warna kemiskinan, aku tidak pernah lihat. Aku membesar dalam hutan batu, di kota lumpur. Keras diselaput wang kemewahan, kemudian keluar dengan segulung ijazah. Bekerja seperti orang gila untuk duit. Biarlah, kalau aku mahu bantu, ramai lagi di luar sana. Lupakan saja..
Ery memanggil aku dari sebuah kedai makan di situ. Hampir 10 minit aku melayan meluat-melihat Ery yang tersipu-sipu menggagau mee dengan sudu dan garfu. Kemudian, kelibat orang tua itu melintasi kami, menjinjing dua beg besar hitam berisi barang. Hairan, takkanlah dengan wang RM 5 dia boleh membeli barang sebanyak itu. Mustahil. Atau dia memang ada duit tapi, berlagak seperti fakir. Mungkin..
Dengan rasa ragu, aku menghampirinya. Dia memberi senyum lembut dan aku dengan rasa curiga bertanya terus.
" Eh, pakcik. Tadi saya bagi lima ringgit, takkan dapat beli barang sebanyak ini?".
Bunyinya seperti meninggi. Pakcik itu seperti terkejut.
Dia diam dan tunduk seketika. Pahit menelan air liur. Meletakkan dua beg plastik di atas tanah, membukanya satu satu, perlahan-lahan dan terketar.
Aku terkedu. Terkejut dan malu. Pakcik itu mengeluarkan sapu tangan tadi dan membuka simpulannya. Wang aku tadi, masih terlipat kemas.
"Nak, pakcik tahu. Kami ini orang susah, nak. Hidup seperti najis, dibuang dan ditolak-tolak. Kalian pekup hidung melihat kami. Ambillah ini semula. Pakcik juga punya maruah. Kadang-kadang maruah kami lebih tinggi dari kamu orang kaya yang hidup berpura-pura, menipu orang. Harga diri kami masih kuat. Bila anak menyoal pakcik seperti tadi, anak telah memijak harga diri pakcik. Anak seperti menghukum pakcik sebagai orang tua sial yang berpura-pura susah. Ambillah semula, nak."
Pakcik itu meletakkannya di atas tangan aku, dan aku menolak, berkali-kali. Aku sudah menangis, meminta maaf, berkali-kali. Tidak mahu menyentuh langsung wang itu, hingga jatuh di hujung kaki.
"Lihat, itulah tempat duit. Di tapak kaki. Duit itu perlu, tapi jangan sampai ia lebih tinggi dari harga diri. Jangan sampai duit menjadikan kita angkuh dan bongkak. Pakcik ke sana tadi, tempat nelayan memunggah ikan. Pakcik kutip ikan-ikan kembung pecah perut ini yang sudah dibuang ke tepi. Dengan bangkai busuk ini pakcik sambung hidup anak-anak pakcik, jangan sampai kelaparan, jangan mati."
Mendatar sahaja suara orang tua itu berkisar-kisar dengan pukulan ombak. Dia terbatuk-batuk berjalan, meninggalkan aku dengan wang lima ringgit di hujung kaki, dua plastik berisi ikan busuk yang sudah mula dihurung lalat.
Aku terduduk menangis semahu-mahunya. Aku mempunyai wang yang boleh membeli segala kemewahan dunia. cuma aku belum mampu membeli sesuatu yang ada dalam diri orang tua itu.
Moral :
" jika tidak dapat apa yang kita suka, belajarlah utk menyukai apa yang kita dapat " renungkan..
Luahkan Sebelum Terlambat
8:58 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (1)
Kisah ini tentang seorang gadis yang jatuh hati pada teman baiknya yang boleh berkongsi suka dan duka.
Kita gelarkan mereka sebagai Adam dan Farah. Bagaimanapun, Farah tidak pernah meluahkan perasaannya itu, bimbang persahabatan mereka yang sedia terjalin, akan tercalar dengan pengakuan itu.
Pada suatu hari, Adam mendatangi Farah dengan satu dilema. Adam meminati seorang gadis dan meminta pendapat Farah, sama ada dia harus menghantarnya satu kad ucapan. Hati Farah hancur berkecai tetapi dia sembunyikannya. Baginya, kebahagiaan kawan adalah kebahagiaannya jua.
"Adam rasa, dia suka Adam tak?" tanya Farah. "Adam tak pasti, tetapi... mungkin juga," jawab Adam. "Adakah Adam pasti dia belum berpunya?" tanya Farah lagi sambil di dalam hatinya berdoa si gadis pujaan Adam sudah mempunyai teman istimewa. Adam menjawab: "Belum."
"Kalau macam tu, teruskan. Itu cara terbaik untuk mengetahui sama ada dia juga sukakan Adam. Lagipun, siapalah yang mampu menolak lelaki seperti Adam," ujar Farah cuba bergurau dan menyembunyikan perasaannya. Selepas itu, Farah cuba mengorek lebih lanjut daripada teman-temannya dan Adam, siapakah gadis bertuah itu tetapi hampa.
Beberapa hari kemudian, Adam datang lagi. "Perlukah saya membelinya sejambak bunga?" "Ya, Farah tidak pernah terjumpa mana-mana perempuan yang tidak sukakan bunga!" "Bunga apa yang patut Adam berikan?" "Bergantung, kepada apa?" "Bergantung kepada apa jenis bunga yang dia sukakan dan berapa banyak wang yang Adam ada." "Adam tak kisah tentang duit."
"Kalau begitu, belikan dia bunga mawar merah, penjual bunga tentu tahu apa maksudnya." "Adakah penjual bunga boleh mengirimkannya bersama kad ucapan?'' "Ya." "Kenapa Adam tidak memberikannya sendiri." "Tak boleh." "Kenapa pula?" "Adam takut dia tidak sukakan Adam." Farah menjadi bertambah sedih.
Pada suatu hari, ketika sedang mengemas rumahnya, seseorang telah mengetuk pintu. Sebaik pintu dibuka, seorang lelaki penghantar berdiri bersama sejambak bunga mawar merah yang dikepilkan bersama sebuah kad ucapan. Kad itu berbunyi:
"Sudah lama Adam tertarik pada Farah (lelaki mana yang tidak tertarik pada Farah, bukan?) Namun, semakin kita menjadi akrab, Adam dapat melihat kecantikan dalaman Farah sebagaimana kecantikan luaran. Perasaan Adam menjadi lebih mendalam, melebihi seorang kawan tetapi Adam bimbang untuk berterus terang.
"Adam menghargai persahabatan kita lebih dari segala-galanya tetapi Adam mahu Farah tahu, apa yang Adam rasai di dalam. Sekiranya Farah tidak merasakan apa yang Adam rasai, Adam sesungguhnya mengerti. Adam harap, kita masih boleh terus menjadi teman karib dan Adam berjanji, tidak akan membangkitkan perkara ini lagi. Seolah-olah, ini semua tidak pernah berlaku dalam hidup kita, okey? Hubungi Adam. Adam mahu tahu, apa pendapat Farah."
Sudah tentu Farah terus menghubungi Adam dan sejak itu mereka menjadi pasangan sahabat, kekasih dan suami isteri yang bahagia sehingga kini.
MORAL :
Jadi saudara, hidup ini terlalu singkat untuk kita menerawang dan tertanya-tanya apa yang orang lain fikirkan tentang kita. Pejam mata, tetapkan pendirian dan 'go for it'.
Kita gelarkan mereka sebagai Adam dan Farah. Bagaimanapun, Farah tidak pernah meluahkan perasaannya itu, bimbang persahabatan mereka yang sedia terjalin, akan tercalar dengan pengakuan itu.
Pada suatu hari, Adam mendatangi Farah dengan satu dilema. Adam meminati seorang gadis dan meminta pendapat Farah, sama ada dia harus menghantarnya satu kad ucapan. Hati Farah hancur berkecai tetapi dia sembunyikannya. Baginya, kebahagiaan kawan adalah kebahagiaannya jua.
"Adam rasa, dia suka Adam tak?" tanya Farah. "Adam tak pasti, tetapi... mungkin juga," jawab Adam. "Adakah Adam pasti dia belum berpunya?" tanya Farah lagi sambil di dalam hatinya berdoa si gadis pujaan Adam sudah mempunyai teman istimewa. Adam menjawab: "Belum."
"Kalau macam tu, teruskan. Itu cara terbaik untuk mengetahui sama ada dia juga sukakan Adam. Lagipun, siapalah yang mampu menolak lelaki seperti Adam," ujar Farah cuba bergurau dan menyembunyikan perasaannya. Selepas itu, Farah cuba mengorek lebih lanjut daripada teman-temannya dan Adam, siapakah gadis bertuah itu tetapi hampa.
Beberapa hari kemudian, Adam datang lagi. "Perlukah saya membelinya sejambak bunga?" "Ya, Farah tidak pernah terjumpa mana-mana perempuan yang tidak sukakan bunga!" "Bunga apa yang patut Adam berikan?" "Bergantung, kepada apa?" "Bergantung kepada apa jenis bunga yang dia sukakan dan berapa banyak wang yang Adam ada." "Adam tak kisah tentang duit."
"Kalau begitu, belikan dia bunga mawar merah, penjual bunga tentu tahu apa maksudnya." "Adakah penjual bunga boleh mengirimkannya bersama kad ucapan?'' "Ya." "Kenapa Adam tidak memberikannya sendiri." "Tak boleh." "Kenapa pula?" "Adam takut dia tidak sukakan Adam." Farah menjadi bertambah sedih.
Pada suatu hari, ketika sedang mengemas rumahnya, seseorang telah mengetuk pintu. Sebaik pintu dibuka, seorang lelaki penghantar berdiri bersama sejambak bunga mawar merah yang dikepilkan bersama sebuah kad ucapan. Kad itu berbunyi:
"Sudah lama Adam tertarik pada Farah (lelaki mana yang tidak tertarik pada Farah, bukan?) Namun, semakin kita menjadi akrab, Adam dapat melihat kecantikan dalaman Farah sebagaimana kecantikan luaran. Perasaan Adam menjadi lebih mendalam, melebihi seorang kawan tetapi Adam bimbang untuk berterus terang.
"Adam menghargai persahabatan kita lebih dari segala-galanya tetapi Adam mahu Farah tahu, apa yang Adam rasai di dalam. Sekiranya Farah tidak merasakan apa yang Adam rasai, Adam sesungguhnya mengerti. Adam harap, kita masih boleh terus menjadi teman karib dan Adam berjanji, tidak akan membangkitkan perkara ini lagi. Seolah-olah, ini semua tidak pernah berlaku dalam hidup kita, okey? Hubungi Adam. Adam mahu tahu, apa pendapat Farah."
Sudah tentu Farah terus menghubungi Adam dan sejak itu mereka menjadi pasangan sahabat, kekasih dan suami isteri yang bahagia sehingga kini.
MORAL :
Jadi saudara, hidup ini terlalu singkat untuk kita menerawang dan tertanya-tanya apa yang orang lain fikirkan tentang kita. Pejam mata, tetapkan pendirian dan 'go for it'.
Apa Salahnya Menangis ?
8:55 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (1)
Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.
Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83). Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh-musuhnya. Para orang tua di Jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis). Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat-ayat Allah. Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.
Di zaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya. Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang yang tanggap terhadap permasalahan umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin bersenang-senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan, ditimpa berbagai ujian, cobaan, dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdoa memohon kepada Tuhan semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83). Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).
Jadi apa salahnya menangis?
Balang Mayonis dan 2 Cawan Kopi
8:53 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (1)
Di dalam sebuah kelas falsafah, seorang profesor berdiri di hadapan dewan kuliah, meja di hadapannya terdapat beberapa barangan. Tanpa sepatah perkataan, kelas bermula dengan beliau mengambil sebuah balang mayonis yang besar dan mengisinya dengan bola golf.
Dia kemudian bertanya kepada para pelajarnya, adakah balang tersebut penuh, dan pelajarnya menjawab "ya!". Profesor kemudian mengambil sekotak batu kerikil halus dan menuangkannya ke dalam balang yang telah dipenuhi bola golf tadi, lantas menggoncang
balang tersebut dengan lembut. Bebatu kerikil mengisi ruangan kosong di antara bola-bola golf. Sekali lagi dia bertanya akan pelajarnya sama ada balang tersebut telah penuh, pelajarnya lantas menjawab "ya..."
Tanpa menjelaskan apa-apa kepada pelajarnya, profesor tersebut lantas mengambil pula sebuah kotak yang berisi pasir dan menuangkannya ke dalam balang tersebut.
Pasir yang dituang mengisi ruangan di antara batu kelikir dan bola golf. Seperti tadi dia bertanya lagi kepada para pelajarnya sama ada balang tersebut telah penuh. Dalam keadaan yang penuh persoalan, rata-rata pelajarnya menjawab "Ya.."
Sejurus selepas itu, profesor itu kemudiannya mengeluarkan dua cawan
kopi dari bawah mejanya dan menuangkan kedua-duanya ke dalam balang yang
telah sedia ada diisi batu golf, batu kerikil dan pasir tersebut. Air kopi mengisi ruangan yang terdapat di antara pasir. Para pelajar mula ketawa dan tersenyum meihat tindakan profesor tersebut.
"Sekarang..." profesor mula bersuara apabila riuh rendah dan gelak ketawa pelajarnya berkurangan. "Saya mahu anda semua menganggap balang ini sebagai kehidupan anda...
Bola-bola golf mewakili perkara penting - Tuhan, keluarga anda, anak-anak, kesihatan anda, kawan-kawan dan semangat anda - Jika anda kehilangan segalanya dan hanya perkara penting ini yang masih anda ada, hidup anda masih penuh. Batu kerikil halus ini pula mewakili perkara-perkara lain seperti kerja anda, rumah atau kereta anda, manakala pasir pula mewakili
perkara-perkara lain, yakni perkara-perkara kecil."
"Jika anda memasukkan pasir ke dalam balang dahulu..." "... anda tidak akan mempunya ruang untuk batu kerikil dan bola golf. Ini sama juga seperti kehidupan anda. Jika anda menghabiskan masa dan tenaga untuk perkara-perkara kecil, anda tidak akan mempunyai ruang untuk perkara yang sebenarnya lebih penting untuk diri anda." "Ambil perhatian untuk perkara yang kritikal untuk kebahagiaan anda.Luangkan masa gembira untuk anak-anak. Sentiasa melakukan pemeriksaan kesihatan, bawa pasangan anda untuk makan malam, yang pasti, anda akan masih ada masa untuk membersihkan rumah atau urusan lain. Sila ambil
berat akan bola golf dahulu - iaitu perkara yang benar-benar penting. Tetapkan keutamaan. Perkara lain cumalah pasir..."
Salah seorang pelajarnya mengangkat tangan dan bertanya apakah pula yang diwakili oleh air kopi. Profesor tersebut tersenyum. "Saya gembira ada yang bertanya. Ianya menunjukkan bahawa tidak kira bagaimana penuh pun kehidupan anda, akan sentiasa ada ruang untuk secawan dua kopi bersama rakan-rakan..."
Moral :
Apabila kehidupan anda seakan terlalu penuh dan tampak sukar untuk diuruskan, apabila 24 jam sehari seperti tidak mencukupi, ingatlah kisah "Balang Mayonis dan 2 cawan kopi ini..."
Dia kemudian bertanya kepada para pelajarnya, adakah balang tersebut penuh, dan pelajarnya menjawab "ya!". Profesor kemudian mengambil sekotak batu kerikil halus dan menuangkannya ke dalam balang yang telah dipenuhi bola golf tadi, lantas menggoncang
balang tersebut dengan lembut. Bebatu kerikil mengisi ruangan kosong di antara bola-bola golf. Sekali lagi dia bertanya akan pelajarnya sama ada balang tersebut telah penuh, pelajarnya lantas menjawab "ya..."
Tanpa menjelaskan apa-apa kepada pelajarnya, profesor tersebut lantas mengambil pula sebuah kotak yang berisi pasir dan menuangkannya ke dalam balang tersebut.
Pasir yang dituang mengisi ruangan di antara batu kelikir dan bola golf. Seperti tadi dia bertanya lagi kepada para pelajarnya sama ada balang tersebut telah penuh. Dalam keadaan yang penuh persoalan, rata-rata pelajarnya menjawab "Ya.."
Sejurus selepas itu, profesor itu kemudiannya mengeluarkan dua cawan
kopi dari bawah mejanya dan menuangkan kedua-duanya ke dalam balang yang
telah sedia ada diisi batu golf, batu kerikil dan pasir tersebut. Air kopi mengisi ruangan yang terdapat di antara pasir. Para pelajar mula ketawa dan tersenyum meihat tindakan profesor tersebut.
"Sekarang..." profesor mula bersuara apabila riuh rendah dan gelak ketawa pelajarnya berkurangan. "Saya mahu anda semua menganggap balang ini sebagai kehidupan anda...
Bola-bola golf mewakili perkara penting - Tuhan, keluarga anda, anak-anak, kesihatan anda, kawan-kawan dan semangat anda - Jika anda kehilangan segalanya dan hanya perkara penting ini yang masih anda ada, hidup anda masih penuh. Batu kerikil halus ini pula mewakili perkara-perkara lain seperti kerja anda, rumah atau kereta anda, manakala pasir pula mewakili
perkara-perkara lain, yakni perkara-perkara kecil."
"Jika anda memasukkan pasir ke dalam balang dahulu..." "... anda tidak akan mempunya ruang untuk batu kerikil dan bola golf. Ini sama juga seperti kehidupan anda. Jika anda menghabiskan masa dan tenaga untuk perkara-perkara kecil, anda tidak akan mempunyai ruang untuk perkara yang sebenarnya lebih penting untuk diri anda." "Ambil perhatian untuk perkara yang kritikal untuk kebahagiaan anda.Luangkan masa gembira untuk anak-anak. Sentiasa melakukan pemeriksaan kesihatan, bawa pasangan anda untuk makan malam, yang pasti, anda akan masih ada masa untuk membersihkan rumah atau urusan lain. Sila ambil
berat akan bola golf dahulu - iaitu perkara yang benar-benar penting. Tetapkan keutamaan. Perkara lain cumalah pasir..."
Salah seorang pelajarnya mengangkat tangan dan bertanya apakah pula yang diwakili oleh air kopi. Profesor tersebut tersenyum. "Saya gembira ada yang bertanya. Ianya menunjukkan bahawa tidak kira bagaimana penuh pun kehidupan anda, akan sentiasa ada ruang untuk secawan dua kopi bersama rakan-rakan..."
Moral :
Apabila kehidupan anda seakan terlalu penuh dan tampak sukar untuk diuruskan, apabila 24 jam sehari seperti tidak mencukupi, ingatlah kisah "Balang Mayonis dan 2 cawan kopi ini..."
Cahaya Keinsafan
8:49 PM Posted by Kisah Tauladan Comments: (4)
Peristiwa yang menimpa saya kira-kira dua tahun lalu sering datang meragut ketenangan yang cuba saya pupuk hari demi hari, namun saya sering kecundang. Justeru saya masih belum dapat memaafkan kesalahan yang telah saya lakukan. Kesalahan yang saya sangka ringan, tapi rupanya mendatangkan rasa bersalah yang tak pernah berkesudahan, hinggalah ke hari ini.
Ingin saya paparkan peristiwa yang menimpa diri saya untuk tatapan anda sekalian. Moga dapat dijadikan teladan sepanjang hidup dan dijadikan iktibar, khasnya bagi para isteri solehah sekalian.
Untuk pengetahuan semua, di kalangan sahabat-sahabat dan saudara-mara, saya dianggap sebagai seorang isteri yang baik. Tapi keterlaluan jika dikatakan saya menjadi contoh teladan seorang isteri bekerjaya yang begitu taat berbakti kepada suami. Walaubagaimana penat dan sibuknya sekalipun saya, urusan rumahtangga seperti melayan suami dan menguruskan anak-anak tidak pernah saya abaikan.
Kami dianggap pasangan romantik. Suami saya seorang lelaki yang amat memahami jiwa saya, berlemah-lembut terhadap keluarga, ringan tulang, untuk sama-sama menguruskan rumah bila pulang dari kerja dan lain-lain sifat baik ada pada dirinya. Waktu solat dan waktu makan malam merupakan waktu terbaik untuk mengeratkan ikatan kekeluargaan dengan solat berjemaah dan makan bersama. Pada waktu inilah biasanya suami saya akan memberi tazkirah dan peringatan kepada kami agar menjadi hamba yang bertaqwa.
Dari sudut layanan seorang isteri terhadap suami, saya amat memahami akan kewajipan yang harus saya tunaikan. Itulah peranan asas seorang isteri terhadap suaminya. Allah menciptakan Hawa semata-mata untuk melayan Adam dan menghiburkannya. Meskipun syurga dipenuhi dengan kekayaan dan kemewahan, namun tidak mampu mengisi jiwa Adam yang kosong melainkan dengan diciptakan Hawa.
Oleh itu saya menganggap tugas mengurus rumahtangga, mengurus anak-anak dan bekerja di pejabat adalah tugas nombor dua setelah tugas pertama dan utama, iaitu melayani suami. Sebagai seorang yang juga sibuk di pajabat, adakalanya rasa penat dan letih menghambat sehingga saya pulang ke rumah.
Tapi saya bersyukur kerana suami amat memahaminya. Berkat tolong menolong dan bertolak ansur, hal tersebut tidak pernah menjadi masalah dalam rumahtangga kami. Bahkan, ia menumbuhkan rasa kasih dan sayang antara satu sama lain kerana masing-masing dapat menerimanya dan mengorbankan kepentingan masing-masing.
Sehinggalah tiba pada suatu hari yang mana pada hari itu datang ketentuan Allah swt yang tidak dapat diubah oleh sesiapupun. Hari itu merupakan hari bekerja, agenda saya di pejabat amat sibuk. Bertemu dengan beberapa orang pelanggan dan menyelesaikan beberapa tugasan yang perlu disiapkan pada hari itu juga. Pukul lima petang saya bersiap-siap untuk pulang ke rumah, penat dan letih tak dapat digambarkan.
Apabila sampai di rumah, saya lihat suami telah pulang dari pejabat. Dia telah membersihkan diri dan sedang melayan anak-anak, bermain dan bergurau senda. Dia kelihatan sungguh gembira pada petang itu. Saya begitu terhibur melihat telatah mereka, kerana suasana seperti itu jarang berlaku pada hari bekerja. Maklumlah, masing-masing penat.
Suami sedar saya amat penat pada hari itu, oleh itu dia meminta saya agar tidak memasak. Sebaliknya dia mencadangkan agar kami makan di sebuah restoran makanan laut di pinggir bandar pada malam itu. Dengan senang saya dan anak-anak menyetujuinya. Kami pulang ke rumah agak lewat, kira-kira jam sebelas malam. Apa tidaknya, kami berbual panjang ketika makan, bergurau senda dan usik mengusik, seperti tiada lagi hari esok. Selain anak-anak, suami sayalah orang yang kelihatan paling gembira dan paling banyak modal untuk dicakapkan pada malam itu.
Hampir jam dua belas malam barulah masing-masing merebahkan diri di katil. Anak-anak yang kekenyangan segera mengantuk dan lelap. Saya pun hendak melelapkan mata, tapi belaian lembut tangan suami mengingatkan saya agar tidak tidur lagi. Saya cuba gagahkan diri melayaninya, tapi hati saya hanya separuh saja yang jaga, separah lagi tidur. Akhirnya saya berkata kepadanya sebaik dan selembut mungkin, “Abang, Zee terlalu penat la", lalu menciumnya dan memberi salam sebagai ucapan terakhir sebelum tidur. Sebaliknya, suami saya terus merangkul tubuh saya. Dia berbisik kepada saya bahawa itu adalah permintaan terakhirnya. Namun kata-katanya itu tidak meresap ke dalam hati saya kerana saya telah berada di alam mimpi. Suami saya perlahan-lahan melepaskan rangkulannya.
Keesokannya di pejabat, perasaan saya agak tidak menentu, seperti ada perkara yang tidak selesai. Saya menelefon suami, tapi tak berjawab. Sehinggalah saya dapat penggilan yang tidak dijangka sama sekali, panggilan dari pihak polis yang menyatakan suami saya terlibat dalam kemalangan dan saya dikehendaki datang segera ke hospital.
Saya bergegas ke hospital, tapi segalanya sudah terlambat. Allah lebih menyayangi suami saya dan saya tidak sempat bertemunya. Meskipun redha dengan pemergiannya, namun perasaan terkilan dan bersalah tidak dapat dikikis dari hati saya kerana tidak melayaninya pada malam terakhir kehidupannya di dunia ini dan di sisi saya.
Hakikatnya, itulah pahala terakhir untuk saya sebagai seorang isteri, dan yang lebih saya takuti sekiranya dia tidak redha terhadap saya pada malam itu dan saya tidak berpeluang lagi untuk meminta maaf daripadanya. Sabda Rasulullah saw, “Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, tiada seorang suami yang mengajak isterinya tidur, tiba-tiba ditolak oleh si isteri, maka Malaikat yang di langit akan murka kepada isterinya itu sehinggalah dimaafkan oleh suaminya”.
Sehingga kini, setiap kali saya terkenang kepada arwah suami saya, air mata saya tetap akan mengalir ke pipi. Saya akan bermunajat dan memohon keampunan daripada Allah. Hanya satu cara saya fikirkan untuk menebus dosa saya itu, iaitu dengan mendidik anak-anak agar menjadi mukmin yang sejati. Agar pahala amalam mereka akan mengalir kepada ayah mereka, suami saya. Hanya itulah khidmat yang dapat saya berikan sebagai isterinya. Itulah harapan saya, semoga Allah memperkenankannya…..Amin….
Ingin saya paparkan peristiwa yang menimpa diri saya untuk tatapan anda sekalian. Moga dapat dijadikan teladan sepanjang hidup dan dijadikan iktibar, khasnya bagi para isteri solehah sekalian.
Untuk pengetahuan semua, di kalangan sahabat-sahabat dan saudara-mara, saya dianggap sebagai seorang isteri yang baik. Tapi keterlaluan jika dikatakan saya menjadi contoh teladan seorang isteri bekerjaya yang begitu taat berbakti kepada suami. Walaubagaimana penat dan sibuknya sekalipun saya, urusan rumahtangga seperti melayan suami dan menguruskan anak-anak tidak pernah saya abaikan.
Kami dianggap pasangan romantik. Suami saya seorang lelaki yang amat memahami jiwa saya, berlemah-lembut terhadap keluarga, ringan tulang, untuk sama-sama menguruskan rumah bila pulang dari kerja dan lain-lain sifat baik ada pada dirinya. Waktu solat dan waktu makan malam merupakan waktu terbaik untuk mengeratkan ikatan kekeluargaan dengan solat berjemaah dan makan bersama. Pada waktu inilah biasanya suami saya akan memberi tazkirah dan peringatan kepada kami agar menjadi hamba yang bertaqwa.
Dari sudut layanan seorang isteri terhadap suami, saya amat memahami akan kewajipan yang harus saya tunaikan. Itulah peranan asas seorang isteri terhadap suaminya. Allah menciptakan Hawa semata-mata untuk melayan Adam dan menghiburkannya. Meskipun syurga dipenuhi dengan kekayaan dan kemewahan, namun tidak mampu mengisi jiwa Adam yang kosong melainkan dengan diciptakan Hawa.
Oleh itu saya menganggap tugas mengurus rumahtangga, mengurus anak-anak dan bekerja di pejabat adalah tugas nombor dua setelah tugas pertama dan utama, iaitu melayani suami. Sebagai seorang yang juga sibuk di pajabat, adakalanya rasa penat dan letih menghambat sehingga saya pulang ke rumah.
Tapi saya bersyukur kerana suami amat memahaminya. Berkat tolong menolong dan bertolak ansur, hal tersebut tidak pernah menjadi masalah dalam rumahtangga kami. Bahkan, ia menumbuhkan rasa kasih dan sayang antara satu sama lain kerana masing-masing dapat menerimanya dan mengorbankan kepentingan masing-masing.
Sehinggalah tiba pada suatu hari yang mana pada hari itu datang ketentuan Allah swt yang tidak dapat diubah oleh sesiapupun. Hari itu merupakan hari bekerja, agenda saya di pejabat amat sibuk. Bertemu dengan beberapa orang pelanggan dan menyelesaikan beberapa tugasan yang perlu disiapkan pada hari itu juga. Pukul lima petang saya bersiap-siap untuk pulang ke rumah, penat dan letih tak dapat digambarkan.
Apabila sampai di rumah, saya lihat suami telah pulang dari pejabat. Dia telah membersihkan diri dan sedang melayan anak-anak, bermain dan bergurau senda. Dia kelihatan sungguh gembira pada petang itu. Saya begitu terhibur melihat telatah mereka, kerana suasana seperti itu jarang berlaku pada hari bekerja. Maklumlah, masing-masing penat.
Suami sedar saya amat penat pada hari itu, oleh itu dia meminta saya agar tidak memasak. Sebaliknya dia mencadangkan agar kami makan di sebuah restoran makanan laut di pinggir bandar pada malam itu. Dengan senang saya dan anak-anak menyetujuinya. Kami pulang ke rumah agak lewat, kira-kira jam sebelas malam. Apa tidaknya, kami berbual panjang ketika makan, bergurau senda dan usik mengusik, seperti tiada lagi hari esok. Selain anak-anak, suami sayalah orang yang kelihatan paling gembira dan paling banyak modal untuk dicakapkan pada malam itu.
Hampir jam dua belas malam barulah masing-masing merebahkan diri di katil. Anak-anak yang kekenyangan segera mengantuk dan lelap. Saya pun hendak melelapkan mata, tapi belaian lembut tangan suami mengingatkan saya agar tidak tidur lagi. Saya cuba gagahkan diri melayaninya, tapi hati saya hanya separuh saja yang jaga, separah lagi tidur. Akhirnya saya berkata kepadanya sebaik dan selembut mungkin, “Abang, Zee terlalu penat la", lalu menciumnya dan memberi salam sebagai ucapan terakhir sebelum tidur. Sebaliknya, suami saya terus merangkul tubuh saya. Dia berbisik kepada saya bahawa itu adalah permintaan terakhirnya. Namun kata-katanya itu tidak meresap ke dalam hati saya kerana saya telah berada di alam mimpi. Suami saya perlahan-lahan melepaskan rangkulannya.
Keesokannya di pejabat, perasaan saya agak tidak menentu, seperti ada perkara yang tidak selesai. Saya menelefon suami, tapi tak berjawab. Sehinggalah saya dapat penggilan yang tidak dijangka sama sekali, panggilan dari pihak polis yang menyatakan suami saya terlibat dalam kemalangan dan saya dikehendaki datang segera ke hospital.
Saya bergegas ke hospital, tapi segalanya sudah terlambat. Allah lebih menyayangi suami saya dan saya tidak sempat bertemunya. Meskipun redha dengan pemergiannya, namun perasaan terkilan dan bersalah tidak dapat dikikis dari hati saya kerana tidak melayaninya pada malam terakhir kehidupannya di dunia ini dan di sisi saya.
Hakikatnya, itulah pahala terakhir untuk saya sebagai seorang isteri, dan yang lebih saya takuti sekiranya dia tidak redha terhadap saya pada malam itu dan saya tidak berpeluang lagi untuk meminta maaf daripadanya. Sabda Rasulullah saw, “Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, tiada seorang suami yang mengajak isterinya tidur, tiba-tiba ditolak oleh si isteri, maka Malaikat yang di langit akan murka kepada isterinya itu sehinggalah dimaafkan oleh suaminya”.
Sehingga kini, setiap kali saya terkenang kepada arwah suami saya, air mata saya tetap akan mengalir ke pipi. Saya akan bermunajat dan memohon keampunan daripada Allah. Hanya satu cara saya fikirkan untuk menebus dosa saya itu, iaitu dengan mendidik anak-anak agar menjadi mukmin yang sejati. Agar pahala amalam mereka akan mengalir kepada ayah mereka, suami saya. Hanya itulah khidmat yang dapat saya berikan sebagai isterinya. Itulah harapan saya, semoga Allah memperkenankannya…..Amin….
Subscribe to:
Posts (Atom)